Selasa, 14 Oktober 2008

Ridho Sindir Kandidat Lain Di Pilkada Sidrap


Ridho Sindir Kandidat Lain
Kampanye Perdana Dihadiri Ribuan Pendukung

SIDRAP-- Pasangan Rusdi Masse-Dollah Mando (Ridho), menyindir kandidat Bupati dan Wakil Bupati Sidrap lainnya, yang dinilai meniru program duet mantan legislator-birokrat itu. Hal itu karena sebagain program kerja yang mereka 'jual' ke masyarakat saat ini juga banyak di munculkan kandidat lainnya.

Sindiran tersebut disampaikan Ridho melalui iklan yang diterbitkan sejumlah harian kemarin. Dalam iklan itu, Ridho mengklaim pasangan pertama yang memprogramkan pendidikan dan kesehatan gratis, akta kelahiran gratis, KTP dan kartu keluarga gratis, subsidi bagi petani, dan sejumlah program lainnya.


Dalam iklan itu juga disebutkan, setelah pasangan Ridho memunculkan program itu melalui sejumlah baliho yang tersebar di sejumlah titik di Sidrap, maka kandidat lain juga memunculkan program yang sama. Rusdi Masse menyebutkan bahwa program yang mereka susun betul-betul dibutuhkan oleh warga Sidrap saat ini.

Meski demikian, pasangan yang diusung Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Amanat Nasional (PAN) itu, tidak mempersoalkan tindakan tersebut. Bahkan dalam pemaparan visi dan misi masing-masing pasangan calon Bupati Sidrap pada Sidang Paripurna DPRD Sidrap 12 Oktober lalu, pengusaha ekspedisi itu mengajak lima pasang kandidat bupati lainnya, untuk menyerahkan dokumen visi dan misinya kepada Ridho, jika pasangan itu terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Sidrap pada 29 Oktober mendatang.

"Begitupun dengan kami, juga akan menyerahkan visi dan misi kami kepada kandidat lain yang terpilih dalam pemilu mendatang. Karena kami yakin, program yang telah kita susun, adalah kondisi riil Sidrap. Sementara solusi yang ditawarkan memang dibutuhkan warga," jelas pasangan Dollah Mando itu.

Hal senada juga dikatakan pasangan itu dalam kampanye terbuka yang dilaksanakan di Lapangan Andi Takko Kelurahan Tanru Tedong Sidrap kemarin. Dihadapan ribuan pendukungnya, Ridho menjanjikan terjadinya perubahan Sidrap secara keseluruhan. Dalam orasinya, Rusdi Masse mengatakan dirinya berserta Dollah Mando akan melakukan perubahan untuk menjadikan Sidrap lebih baik dari saat ini.

Dijelaskan, bahwa pasangan itu akan membuka sebanyak 15 ribu lapangan kerja baru di Sidrap. Dengan pembukaan lapangan kerja baru itu, maka dipastikan ribuan warga Sidrap yang saat ini belum bekerja, akan terserap dunia kerja. Selain itu, warga Sidrap yang umumnya petani, juga akan diberikan subsidi agar mampu meningkatkan produktifitas lahan yang ada.

"Kita akan menyalurkan pupuk yang bisa dikredit tanpa bunga oleh warga. Pupuk itu bisa diperoleh saat awal musim tanam, dan bisa dilunasi setelah panen. Jika pemerintah tidak mampu memberikan subisidi itu, maka saya akan lakukan secara pribadi," tegas lelaki kelahiran Rappang 3 Maret 1973 itu.

Sindiran sama juga disampaikan Dollah Mando yang mengatakan bahwa tebu tidak layak di Sidrap, tapi yang layak adalah meningkatkan produktifitas pertanian di Bumi Nene Mallomo itu.


Ketua DPW PAN Sulsel Ashabul Kahfi yang juga hadir dalam kampanye perdana Ridho kemarin meyakini, program yang ditawarkan oleh duet itu memang sangat cocok dengan kondisi Sidrap saat ini. Makanya dia mengajak kepada seluruh warga Sidrap, pendukung dan kader PAN, agar memilih pasangan Ridho pada 29 Oktober mendatang.

Lebih lanjut menurut Ashabul, pasangan Ridho memang sangat pas untuk memimpin Sidrap. Rusdi Masse disebutnya adalah pengusaha yang sangat sukses menaklukkan Jakarta, dan perusahaannya mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Sementara Dollah Mando adalah mantan birokrat yang sangat mumpuni di bidang pemerintahan.

"Saya pastikan, warga Sidrap tidak akan salah pilih jika mencoblos nomor 4 Ridho pada 29 Oktober mendatang. Apalagi warga Sidrap yang membutuhkan perubahan menjadi lebih baik, pasangan Ridho yang mampu mewujudkan hal itu," terang Ketua DPW PAN Sulsel.

Penegasan senada juga disampaikan oleh Ketua DPW PBR Sulsel Nur Hasan dalam orasinya kemarin. Menurut Hasan, Ridho adalah pasangan yang cocok memimpin Sidrap lima tahun ke depan. Hal itu berdasarkan pengalaman yang dimiliki duet tersebut. Dia juga menyebutkan, sosok pemimpin yang dibutuhkan oleh warga Sidrap, ada pada pasangan Ridho.

"Sebenarnya, sejumlah kegiatan yang program pasangan Ridho telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir. Seperti penyediaan ambulans gratis, dan penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya bagi warga. Berdasarkan data, sekitar 75 persen karyawan Rusdi Masse di Jakarta, adalah warga Sidrap. Sekali lagi, warga Sidrap tidak akan salah pilih jika memilih Ridho," tegas Ketua DPW PBR Sulsel.

Selain Ketua DPW PBR dan PAN Sulsel, juga tampak hadir dalam kampanye kemarin adalah legislator PBR Sulsel A Besse Marda, putri Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Indira Cunda Titha Syahrul, mantan Ketua DPRD Sidrap Sairing Djafar, Ketua DPD PAN Sidrap Baharuddin Andang, dan sejumlah pengurus DPW PBR dan PAN Sulsel.(Hamsah)

Jumat, 05 September 2008

Kaligrafi Ajaib Di Pohon


Oleh : Muhammad Riza
Salah satu pohon kapuk pebuh Kaligrafi Arab yang menghebohkan warga Pidie.

Ribuan warga Pidie sejak beberapa hari terakhir ini dihebohkan munculnya kaligrafi arab di 10 batang pohon kapuk. Mereka dari berbagai daerah berduyun-duyun datang ke Desa Cot Jeureulik, Tgk. Laweueng, lokasi 10 batang pohon kapuk yang tiba-tiba tertoreh kaligrafi arab.

Cepatnya tersiar kabar dari mulut ke mulut masyarakat membuat Waspada ikut ambil bagian untuk melihat langsung misteri munculnya kaligrafi itu. Ternyata untuk menembus Desa Cot Jeureulik, Tgk. Laweueng, lokasi 10 batang pohon kapuk itu tidak mudah. Terletak di perbukitan kawasan Goa Tujuh, Waspada yang menggunakan mobil harus menempuh perjalananan cukup melelahkan.


Sebab, medan jalan yang dilewati penuh dengan batu cadas, menanjak dan banyak tikungan patah. Bila tidak hati-hati kendaraan yang kita tumpangi itu jatuh ke jurang di bawahnya empang. Setiba di lokasi, terlihat kerumunan warga lagi serius memperhatikan kaligrafi arab misterius itu.

Meski telah dipasang garis polisi, umumnya para pengunjung memetik daun kapuk tersebut untuk dijadikan obat. Warga yakin dengan meminum air dari daun itu segala penyakit yang dideritanya akan sembuh. Fenomena ini akan Anda lihat langsung bila datang ke lokasi itu.

Keterangan warga setempat lokasi sekitar Goa Tujuh itu memang banyak terdapat hal mistis. Bila kita berada di lokasi itu tidak sopan akan kita jumpai hal-hal mistis yang tidak masuk dalam akal pikiran manusia. Peristiwa munculnya kaligrafi tersebut mungkin sebuah teguran terhadap umat manusia yang selama ini telah lupa akan sang penciptanya.

Menurut Marwan, 33, warga Desa Cot yang sehari-hari bercocok tanam di lokasi itu sebelumnya tidak pernah melihat kaligrafi Arab di 10 pohon kapuk tersebut. Padahal setiap hari ia usai merawat tanaman cabai selalu beristirahat di bawah batang pohon kapuk tersebut dengan mengikat ayunan, tapi tidak pernah melihat adanya kaligrafi Arab tersebut.

"Saya sudah empat tahun bercocok tanam di sini tapi tidak pernah melihat ada kaligrafi Arab di pohon kapuk ini. Mungkin saya tidak perhatikan. Tapi kalau kita perhatikan ukirannya ini sepertinya sudah lama sekali," ucap Marwan penasaran.

Menurut Marwan, kejanggalan ini pertama dilihat oleh sejumlah bocah desa setempat. Sore itu, Sabtu (19/10) awan hitam bergelombang menghiasi langit di atas Guha Tujoh (Goa Tujuh-red) Laweung, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie. Beberapa bocah Desa Cot Jereulik Tgk. Laweueng terlihat lagi asyik bermain bola, mereka tidak menghiraukan hujan akan turun.

Melihat hujan akan turun, Marwan mengambil sepeda motornya pulang ke rumah. Saat pulang Marwan sempat mengajak anak-anak itu pulang karena hari akan hujan. Tapi dasar bocah tidak menghiraukan ajakannya. Lalu Marwan tancap gas kembali ke rumahnya, di tengah jalan Marwan berhenti karena hujan lebat telah turun. Kemudian Marwan mencari tempat berteduh.

Demikian juga bocah tadi menghentikan bermain bola dan mencari tempat berteduh. Tiba–tiba petir disertai kilat menyambar, namun aneh pada 10 batang pohon kapuk tersebut ada kilatan cahaya. Tak lama kemudian kilatan cahaya pada 10 batang pohon kapuk itu hilang hujanpun mulai reda. Lalu bocah-bocah tersebut keluar dari tempat berteduh saat pulang mereka memperhatikan pohon kapuk yang ada kilatan tadi.

Ternyata seluruh batang, ranting dan daun Kapuk tersebut telah bertuliskan Allah, Muhammad dan ayat-ayat Al Quran lainnya.

Bocah-bocah tadi pulang ke rumahnya masing-masing dengan berlari. Sesampai di rumah mereka menceritakan pada orang tuanya. Lalu warga setempat datang ke lokasi untuk memastikan kabar yang di sampaikan bocah-bocah tadi, sesampai di lokasi ternyata betul ke10 batang pohon Kapuk tadi penuh dengan kaligrafi Arab. Kemudian oleh kepala desa dan warga lainnya melaporkan peristiwa ini kepada Kapolsek setempat.

Tgk. Al-Azhar, pimpinan Pesantren Jabal Ulum Desa Tgk. Laweueng yang ikut memperhatikan tulisan Arab itu berpendapat. Tulisan Arab yang terdapat di pohon kapuk itu sepertinya telah lama timbul, tapi tidak begitu jelas. Ia juga berpendapat tulisan Arab itu belum dapat dipastikan karena tidak berbentuk sebuah qalam. Tapi bisa juga dikatakan itu huruf hijaiyah. Huruf itu sebuah kalimat khathtsulus yang hanya dapat dibaca oleh penulis itu sendiri.

Camat Muara Tiga, Azhari Yacub, SH kepada Waspada, Minggu (12/10) menyebutkan, pihaknya belum dapat memprediksikan ikhwal kejadian itu. Namun dirinya dalam waktu dekat ini akan mendatangkan ulama yang mengerti akan kaligrafi misterius tersebut. "Kita belum tahu, apa ini dibuat oleh manusia atau memang benar-benar kekuasaan Allah," jelas Azhari.

Misteri munculnya Kaligrafi di 10 batang kapuk telah membuat masyarakat mempercayai berlebihan. Ada di antara mereka mengambil daun dan kulit batang Kapuk itu dijadikan sebagai ramuan obat yang diyakini dapat menyembuhkan segala penyakit. Dalam hal ini peran ulama besar untuk menyadarkan umat sebelum tersesat dari ajaran Islam.

Kamis, 21 Agustus 2008

Bungnge Citta Nene Mallomo


Lebih Dekat Dengan Bungnge Citta Nene Mallomo (1)
Diyakini Mampu Mengusir Roh Dan Pengaruh Ilmu Hitam

Sekilas sumur Bungnge Citta Nene Mallomo yang terletak di sebelah kiri jalan menuju Kabupaten Soppeng terlihat seperti sumur umum. Hampir setiap hari terlihat warga sekitar datang mencuci pakaian di tempat itu. Namun Siapa sangka sumur itu menyimpan cerita unik.

Laporan : Hamsah

Sumur Bungnge Citta Nene Mallomo selain menjadi tempat keseharian bagi kaum ibu mencuci pakaian atau mandi dan keperluan air lainnya, ternyata dibalik fungsi umum sebuah sumur umum, tersimpan cerita unik di sumur tersebut.

Sumur yang dikabarkan telah ada sejak ribuan tahun lalu itu dan telah setia memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat Desa Allakuang Kecamatan Maritengngae itu juga memiliki air yang diyakini berkhasiat menghilangkan pengaruh ilmu hitam dan gangguan roh jahat.


Bagi sebagaian masyarakat Sidrap terutama yang bermukim di sekitar Desa Allakuang dan wilayah sekitarnya Sumur Bungnge Citta Nene Mallomo dianggap keramat, air yang keluar dari sumur itu juga kerap dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengobatan.

Salah seorang tokoh masyarakat Allakkuang, Abd Razak menjelaskan bahwa umumnya masyarakat yang meyakini khasiat dari air itu, memanfaatkan air tersebut untuk keperluan mengusir roh jahat atau menangkis ilmu hitam. Sebab air itu diyakini suci.

"Bahkan warga Towani Tolotang sering datang ke sumur itu khusus mencuci pakaian orang mati, dengan maksud agar pakaian tersebut bersih dari gangguan roh,"jelas Razak.

Lelaki yang kesehariannya juga menjual aneka pahatan batu ini juga menjelaskan bahwa air yang keluar dari sumur yang memiliki kedalam sekitar 10 meter lebih itu, juga sering dimanfaatkan jimat untuk memudahkan segala urusan.

"Makanya hampir setiap pindah rumah masyarakat datang mengambil air ditempat itu sekitar satu botol kemasan. Itu disimpan di pusat rumah begitupu ketika akan memulai sebuah pekerjaan seperti berdagang dan lainnya itu juga diambil sebagai pappalomo (untuk memberikan kemudahan,red),"terangnya.

Selain itu menurut Razak, air itu juga sering dmanfaatkan bagi ibu hamil untuk memudahkan persalinan. Maka tidak heran kata dia jika banyak orang hamil yang datang untuk sekedar mengambil air satu botol kemasan untuk disimpan dirumahnya sebagai jimat pelancar persalinan.

"Ini yang pokok, selain untuk mengusir roh jahat dan ilmu hitam ini juga sangat sering dijadikan sebagai obat untuk memperlancar segala urusan,"kilahnya. (*bersambung)
===================
Lebih Dekat Dengan Bungnge Citta Nene Mallomo (2)
Air Muncul Secara Ajaib

Keyakinan akan khasiat air Sumur Bungnge Citta Nene Mallomo bukan tanpa alasan. Kemuncuan air pertama kali di sumur itu diyakini muncul secara ajaib.

Laporan : Hamsah

Dari sejarah yang berkembang dimasyarakat, awal munculnya air di Sumur Bungnge Citta Nene Mallomo itu bermula dari sejarah tokoh legendaris Kabupaten Sidrap, Nene Mallomo. Kabarnya Nene Mallomo suatu saat sangat ingin membantu masyarakat disekitarnya yang lagi kesulitan air. Sehingga dengan niat suci untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kesulitan air, Nene Mallomo lalu menhentakkan kakikinya ke tanah.

Wal hasil, dari bekas hentakan kaki Nene Mallomo itu, muncullah semburan air yang semakin banyak dan akhirnya tempat tersbut menjadi sebuah sumur yang mampu memenuhi kebutuhan air masyarakat waktu itu.

Sejak itulah lokasi itu terus lestari menjadi sebuah sumur yang dijadikan sebagai tempat pengambilan air bagi masyarakat sampai saat ini. Hanya saja menurut keterangan warga setempat air di sumur itu tidak lagi banyak beberpa tahun lalu. Banyaknya sumur bor di rumah-rumah yang terbilang dekat dari sumur di yakini menjadi penyebab kurangnya air sumur di Sumur Bungnge Citta Nene Mallomo itu.

"Sebelum ada sumur bor air di sumur itu meluap-luap, tapi sekarang tidak lagi tapi tetap tidak bisa kering meskipu kemarau panjang melanda. Hanya saja sejak adanya sumur bor, sebagaian air sumur itu meresap ke sumur bor itu,"jelas salah seorang tokoh masyarakat Desa Allakuang, Lokasi Sumur itu berada, Abd Razak.

Lantas apa hubungan keyakinan masyarakat sekarang dengan kemunculan air di Sumur Bungnge Citta Nene Mallomoitu secara ajaib?.

Abd Razak bercerita panjang soal itu. Menurutnya keyakinan itu erat kaitannya dengan kehidupan sang tokoh legendaris Sidrap Nene Mallomo. Semasa hidupnya Nene Mallomo disebutkan sebagai lelaki yang cerdik. Tidak ada tugas dan keluhan raja (Arung) yang ia anggap sulit. Semua kesulitan yang dihadapi arung saat itu mampu di hadapi dengan sangat enteng.

Adalah sebuah kisah, saat Arung yang bermuki di Sidrap akan melakukan adu kerbau dengan sejumlah raja dari berbagai penjuru nusantara. Kabar tentang kehebatan kerbau dari para raja yang akan menjadi lawan Arung yang bermukim di Sidrap cukup meresahkan sang Arung.

Namun dengan kecerdikan Nene Mallomo kerisauan Arung mampu diatasi Nene Mallomo. Saat itu Arung sempat berkecil hati sebab Nene Mallomo hanya menyiapkan kerbau kecil yang masih menyusui, sementara lawan-lawannya disebutkan akan membawa kerbau besar dan hebat. Tapi setelah diyakinkan akhirnya Arung menerima alasan Nene Mallomo.

Saat akan bertanding, anak kerbau yang masih menyusui itu dibiarkan kelaparan dan tidak disusui dengan induknya. Dibagian mulut anak kerbau itu dipasangi taji (jenis senjata tajam khusus dalam adu hewan). Saat anak kerbau itu dilepas, karena dalam kondisi sangat lapar ia langsung memburu kerbau lawannya dengan maksud akan menyusu, akibatnya bagian bawah lokasi yang setara dengan lokasi susu induknya robek oleh tusukan taji, mengakibatkan kerbau besar lari tunggang langgang.

"Ini salah satunya dan banyak cerita lain tentang kecerdikan Nene Mallomo dalam memudahkan urusan Arung, makanya itulah yang dijadikan dasar filosofi bagi masyarakat ketika mengambil air dengan maksud urusan mereka akan mudah seperti mudahnya Nene Mallomo dalam memecahkan teka teki yang amat sulit yang dihadapi para Arung,"papar Razak.(*)
============================

Keterlambatan Pengisian Jabatan Lembaga Baru Akan Hambat DAU

SIDRAP-- Keterlambatan pengisian jabatan di lembaga baru dinilai akan menghambat Dana Alokasi Umum (DAU). Sebab itu dinilai menjadi acuan pengucuran DAu disetiap daerah. Selain itu keterlambatan itu juga akan turut berpengaruhterhadap penunjang aktivitas kelembagaan baru yang telah diperdakan, termasuk kenaikan pangkat pejabat.

Dengan alasan itulah sehingga untuk menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah dan mengingat beberapa pertanyaan mengenai jabatan Kepala Bidang pada Dinas dan Badan perangkat daerah kabupaten dan kota yang mencakup pengisian jabatan sejumlah pejabat dalam lingkup pemerintahan dan eselonnya, pemkab Sidrap segera melaksanakan pengisian jabatan sesuai dengan perangkat aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Hanya saja kemungkinan agak lambat,sebeb pelaksanaan mutasi dalam mengisi sejumlah jabatan eselon meskipun telah ditetapkann perda PP Nomor 41, khususnya eselon III dan IV, dan Badan Pertimbangan jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Sidrap sudah melakukan rapat dan mengusulkan sejumlah nama PNS yang akan mengisi jabatan baru tersebut kepada Bupati Sidrap sejak beberapa bulan yang lalu namun sampai saat ini belum terealisasi.

"Itu masih dalam proses, yang jelas kita sudah mengirim beberapa nama untuk mengisi jabatan yang masih lowong,"jelas Sekkab Sidrap belum lama ini.

Keluarnya surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Jakarta sejak 13 Juni lalu tentang Hak kepegawaian dan hak administrasi bagi kepala Bidang pada Dinas dan Badan Perangkat Daerah Kabupaten dan Kota sesuai PP Nomor 41 2007 itu menjadi suatu desakan mendasar kepada pemerintah daerah untuk segera melakukan pengisian jabatan.

Hasanuddin menilai jika jabatan lowong tidak segera terisi itu artinya penataan organisasi perangkat daerah sesuai dengan PP Nomor 41 Tahun 2007 belum terlaksana. Hal ini juga berimbas bagi tingkat eselon sesuai organisasi perangkat daerah berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2003 dengan ketentuan kenaikan pangkat bagi semua PNS yang menduduki jabatan struktural dilingkungan masing-masing tidak dapat dipertimbangkan untuk kenaikan pangkat jika terlambat direalisasikan. (sah)

Jumat, 30 Mei 2008

Negeri Jeruk Yang Sedih


Ketika kita meninggalkan Java menuju Akka, aku tak merasakan kesedihan, ini seperti berpergian dari sebuah kota ke kota lainnya untuk berlibur. Selama beberapa hari, tak terjadi hal-hal yang menyedihkan, aku merasa gembira karena kepindahan ini memberiku istirahat yang indah dari sekolah….kemudian segalanya berubah ketika Akka diserang (oleh tentara Israel). Malam itu terasa berat bagiku dan untukmu. Para perempuan berdoa, lelaki-lelaki terdiam. Kau dan aku dan semua anak seusia kita tidak memahami apa yang tengah terjadi…Namun, sejak malam itulah kita mulai menyulam kisah kita. Ketika tentara Israel pergi, setelah mengancam dan mengucapkan sumpah serapah, sebuah van besar berhenti di depan rumah kita, kemudian perkakas-perkakas kecil (terutama kasur dan selimut) mulai dilemparkan ke dalamnya. Aku tengah berdiri bersandar pada dinding rumah tua itu ketika aku melihat ibumu naik ke van itu, kemudian bibimu, kemudian anak-anak kecil lainnya. Ayahmu menggendongmu dan menempatkanmu di mebel, dan dengan cara yang sama, ia mengangkatku di atas kepalanya dan menempatkanku di kotak besi di atas van. Di sini ada saudaramu Riad yang duduk dalam diam. Kemudian mobil berjalan sebelum aku duduk dengan nyaman, dan Akka pun perlahan-lahan menjauh di belakang jalan berkelok naik yang membawa ke sebuah tempat bernama “Rass Ennakoura ini.




Cuaca terasa dingin. Hawa dingin menyentuh tubuhku. Riad duduk dengan tenang dan menaikkan kakinya ke atas kotak, menyandarkan punggungnya ke furnitur, dan menatap langit. Aku duduk dalam diam, memegangi lututku dengan jari-jariku dan menaruh daguku di antara kedua kakiku…..Di sepanjang jalan banyak belukar pohon-pohon jeruk. Perasaan takut dan gelisah menghinggapi tiap orang…Mobil berjalan dengan susah payah di jalanan yang basah, sementara di kejauhan kita mendengar suara tembakan yang seolah mengucapkan selamat tinggal pada kita semua. Ketika Rass Ennakoura telah tampak, mobil berhenti…para perempuan turun dari sela-sela barang-barang dan pergi menghampiri seorang petani yang tengah berjongkok di depan sebuah keranjang jeruk..... Mereka membawa jeruk-jeruk mereka, kami mendengar mereka meratap. Saat itulah aku merasa bahwa jeruk adalah sesuatu yang berharga...dan jeruk besar ini adalah kesayangan kami. Para perempuan membeli jeruk-jeruk itu dan kembali ke mobil dan kemudian ayahmu beranjak dari tempatnya di sisi sopir, mengulurkan tangannya, mengambil sebuah jeruk, menatapnya dalam diam, kemudian tiba-tiba menangis seperti anak kecil yang menderita.
Di Rass-Ennakoura, mobil kita berhenti di antara mobil-mobil lainnya. Para lelaki menyerahkan pistol mereka pada para polisi yang memang berada di sini untuk melakukan hal itu. Ketika giliran kita tiba, meja itu telah dipenuhi pistol dan senapan otomatis. Aku melihat guratan panjang bayangan sebuah mobil besar masuk ke Libanon dan meninggalkan negeri jeruk ini jauh di belakangnya....Aku menangis dengan keras...ibumu masih tetap tercenung menatap jeruk-jeruk....Dalam mata ayahmu tergambar jelas pohon-pohon jeruk yang ditinggalkannya untuk orang-orang Israel...semua pohon jeruk yang telah ditanam dengan penuh kesabaran berkerjapan dalam mata ayahmu. Dia tak bisa menghentikan air mata yang membanjiri matanya ketika berhadap-hadapan dengan kepala polisi. Ketika kita sampai di Saida, pada sore harinya, kita pun telah menjadi pengungsi.

. . . . . . . .

Jalanan menyerap kita di antara hal-hal lain. Tiba-tiba ayahmu menjadi lebih tua dari sebelumnya, ia terlihat seperti orang yang tak bisa memejamkan mata dalam waktu yang lama. Dia berdiri di antara barang-barang, yang diletakkan di sisi jalan. Aku tahu jika saat itu aku menanyakan sesuatu padanya, pasti dia akan meledak dan berkata, “terkutuklah ayahmu....terkutuklah kau....” sumpah serapah ini tergambar jelas di wajahnya. Bahkan aku, yang tumbuh dalam sebuah sekolah Katolik konservatif, pada saat itu merasa ragu jika Tuhan benar-benar ingin membuat hambanya bergembira. Aku ragu jika Tuhanku bisa mendengar dan melihat segala sesuatu.....Semua gambaran yang menunjukkan Tuhan mencintai anak kecil dan tersenyum pada mereka terlihat seperti sebuah dusta di antara dusta-dusta lainnya yang dibuat oleh orang-orang yang mendirikan sekolah konservatif hanya demi mendapat penghasilan tambahan. Aku yakin jika Tuhan, yang kami kenal di Palestina, left her as wol dan Dia adalah seorang pengungsi yang mengasingkan diri di suatu tempat di dunia ini, dan Dia tidak bisa memecahkan persoalannya sendiri, dan kita, para pengungsi, yang tengah duduk di pinggiran jalanan, menunggu nasib yang akan memberi kita jalan keluar. Kita bertanggung jawab untuk menemukan solusi bagi kita sendiri….kita bertanggung jawab untuk mencari sebuah atap yang menaungi kepala-kepala kita. Penderitaan mulai menghantam kepala anak muda yang naif.

Malam terasa mengerikan, gelap perlahan-lahan jatuh, sedikit demi sedikit, aku merasa takut…. pikiran bahwa aku akan menghabiskan malam di trotoar ini memenuhi jiwaku dengan mimpi buruk yang mengerikan…..tidak ada seorang pun yang berusaha menenangkanku…..aku tidak menemukan seorang pun tempat aku bisa bersandar…..kesunyian ayahmu yang kaku, bahkan membuatku semakin takut, sementara jeruk yang ada di tangan ibu membakar api di dalam dadaku….setiap orang terdiam, setiap orang menatap ke jalanan yang gelap dan berahap akan muncul solusi dari setiap sudut jalan dan menempatkan kami di bawah sebuah atap. Dan datanglah takdir itu. Itu adalah pamanmu yang datang ke kota beberapa hari yang lalu. Dialah takdir kita.

Pamanmu bukanlah orang baik-baik dan ketika ia menemukan dirinya terlantar di jalanan, dia menjadi lebih buas. Dia pergi ke sebuah rumah di mana sebuah keluarga Yahudi tinggal, membuka pintunya, melempar keluar semua barang yang ada di sana dan berteriak di hadapan mereka: “pergi ke Palestina.” Mereka tidak benar-benar pergi ke Palestina, namun karena terintimidasi oleh rasa frustasi dan kemarahan pamanmu, mereka beringsut ke ruangan lain dan membiarkannya menikmati atap dan lantai. Pamanmu membawa kita ke ruangan itu; di mana kita dijejalkan di antara keluarga dan barang-barangnya. Kita tidur di lantai dan diselimuti dengan jas hujan laki-laki. Di pagi hari, ketika kita bangun, laki-laki itu masih duduk di kursi....dan tragedi itupun mulai menekan tubuh-tubuh kita.......semua tubuh kita.... !!!
Kita tidak tinggal lama di Saida, ruangan pamanmu tidak cukup besar untuk menampung bahkan setengah dari rombongan kita. Kita tinggal di sini selama tiga hari. Ibumu meminta ayahmu untuk mencari kerja atau kembali ke ladang jeruk. Ayahmu meledak di hadapannya. Suaranya bergetar karena marah. Kemudian persoalan keluarga kita pun dimulai. Keluarga yang bahagia, saling terikat kuat, berada di sini dengan belukar pohon jeruk dan sebuah rumah tua, dan para martir. Aku tidak tahu dari mana ayahmu memperoleh uang. Aku tahu ia menjual perhiasan ibumu, yang dulu pernah diberikan padanya untuk membuat ibumu gembira dan bangga padanya. Namun, perhiasan semata tidaklah cukup untuk memecahkan masalah kita, seharusnya ada sumber-sumber lain. Apakah ayahmu meminjam uang? Apakah ia menjual barang-barang yang ia bawa tanpa memberi tahu kita!. Aku tak bisa mengatakan….namun aku masih ingat bahwa kita berpindah ke pinggiran kota Saida, dan di sini, ayahmu duduk di sebuah bukit yang tinggi dan untuk pertama kalinya tersenyum….ia sudah menunggu datangnya tanggal 15 Mei untuk kembali bersama dengan para tentara yang menang.

Akhirnya, tanggal 15 Mei pun tiba setelah masa-masa yang pahit dan keras. Tepat pada pukul 12 malam ia menendangku ketika aku masih terlelap dan berkata dengan suara yang penuh harapan; Bangun! Pergilah! lihat para prajurit Arab memasuki Palestina. Aku bangun dengan penuh semangat dan kita berlari bertelanjang kaki di sepanjang bukit itu, tengah malam, hingga kemudian kita sampai di jalanan yang jauhnya sekitar satu kilometer dari desa. Kita semua masih muda sementara orang-orang yang lebih tua berlari terengah-engah seperti orang idiot. Kita melihat secercah cahaya lampu mobil di kejauhan melintasi Rass Ennakoura. Ketika kita tiba di jalan utama, kita merasa kedinginan, namun teriakan-teriakan gila ayahmu membuat kita melupakan segala sesuatu....dia kemudian berlari di belakang mobil itu seperti seorang anak kecil....Dia melambai ke arah mereka....dia berteriak dengan suara yang parau..dia mulai kehabisan nafas, namun tetap berlari di belakang mobil itu persis seperti seorang anak kecil....kita berlari di sampingnya, berteriak-teriak sepertinya sementara tentara-tentara yang tampak mengagumkan melihat ke arah kita dari bawah topi baja mereka dengan diam dan kaku....kita semua kehilangan nafas, namun ayahmu tetap berlari dan mengabaikan usia lima puluh tahunnya. Ia melemparkan sebatang rokok ke arah para tentara. Dia tetap berlari dan kita terus mengikutinya seperti kawanan anak domba.



Prosesi pengejaran mobil itu berlangsung singkat dan kita kembali ke rumah dengan lelah dan kehabisan nafas. Ayahmu menjadi lebih sunyi dan pendiam. Ketika sebuah mobil yang melintas menyorotkan lampu ke wajahnya, air mata telah menetes ke lehernya.



Setelah peristiwa itu, kehidupan berjalan dengan lambat.......kita telah ditipu oleh sebuah pernyataan.....kita dibuat kalang kabut oleh kenyataan yang pahit ini...kesedihan dan kepedihan mulai menggelayuti wajah semua orang, ayahmu tidak bisa lagi bercerita tentang Palestina atau hari-hari bahagia di belukar pohon-pohon jeruknya, atau rumahnya.....kita menjadi tembok dari tragedinya dan kita adalah anak-anak yang hebat yang dengan mudah menemukan makna di balik teriakannya di pagi hari “pergilah ke bukit dan jangan kembali sebelum siang..” kita tahu ia ingin agar kita tak meminta sarapan.



Segala sesuatu menjadi terasa menekan. Masalah-masalah sederhana pun bisa menyulut kemarahan ayahmu. Aku teringat ketika suatu hari salah seorang dari kita meminta sesuatu padanya, ia terloncat seperti tersengat aliran listrik, kemudian melemparkan pandangannya pada kita. Sebuah gagasan busuk melintasi pikirannya. Dia berdiri seperti telah menemukan solusi atas dilema yang dialaminya. Dia merasa bahwa dia cukup kuat untuk mengakhiri tragedi ini, tidak lagi merasa panik seperti seseorang yang akan melakukan sebuah aksi penuh bahaya, dia mulai mengatakan hal-hal yang tidak jelas. Kemudian ia melompat ke dalam kotak yang kita bawa dari Akka. Dia pun menghamburkan seluruh isi kotak itu dengan histeris dan menakutkan.
Pada saat itu, ibumu, dituntun oleh intuisi seorang ibu, menyerap apa yang terjadi dalam pikirannya, dia mendorong kita menjauh dari rumah dan meminta kita untuk berlari ke bukit. Namun, kita malah berhenti di jendela, dan menempelkan telinga-telinga kecil kita ke dindingnya. Dengan perasaan ngeri, kita mendengar ayahmu berkata: Aku akan membunuh mereka dan membunuh diriku sendiri....aku ingin mengakhirinya...aku ingin...aku ingin....



Kita mengintip melalui celah pintu, kita melihat ayahmu berbaring di lantai dan bernapas dengan berat sambil menggeretakkan giginya. Ibumu melihatinya dari jarak yang agak jauh. Wajahnya dipenuhi ketakutan. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang akan terjadi. Aku ingat, saat itu ketika aku melihat sebuah pistol hitam ada di sisi ayahmu, aku segera berlari sekencangnya seperti tengah menghindari sesosok hantu yang tiba-tiba muncul. Aku berlari ke arah perbukitan menjauhi rumah......Semakin jauh aku dari rumah, kian jauh aku meninggalkan masa kecilku. Aku mulai menyadari bahwa ternyata hidup kita tidak lagi sama; segala sesuatu tidak sesederhana seharusnya dan hidup itu sendiri bukanlah sesuatu yang dengan penuh gairah kau nanti-natikan.



Situasinya telah sampai pada sebuah kondisi di mana seorang ayah hanya bisa menawarkan tembakan ke kepala anak-anaknya. Mulai hari ini dan seterusnya, kita harus berhati-hati melangkah (mengatur langkah kita), merawat diri kita sendiri, diam dan mendengarkan ketika ayah menumpahkan kekesalan-kekesalannya. Selapar apapun, kita tidak boleh meminta makanan, kita harus patuh dan menganggukkan kepala sembari tersenyum ketika ayah berteriak: “pergi ke perbukitan dan jangan kembali hingga siang hari.” Pada sore hari ketika gelap menjalar di sekeliling rumah, ayahmu masih tetap di sana, menggigil karena demam. Ibumu berada di dekatnya. Mata kita berkilauan seperti mata seekor kucing yang berada dalam kegelapan. Bibir kita terkunci seolah tak pernah dibuka, seolah masih terkena penyakit yang telah lama kita diidap.

Kita berjejal di sini, terenggut dari masa kecil kita, jauh dari negeri jeruk......jeruk yang mati, tepat seperti yang dikatakan seorang petani tua pada kita, karena tangan asing menyirami pohon-pohonnya. Ayahmu masih tetap sakit, terbaring di atas tempat tidurnya, sementara ibumu selalu digenangi air mata yang sejak hari itu tidak pernah meninggalkan kedua bola matanya. Aku masuk ke ruangan itu dengan diam-diam, mengendap seperi seorang gelandangan.......aku melihat wajah ayahmu bergetar karena marah...pada saat yang sama aku melihat pistol hitam itu berada di sebuah meja rendah...dan di dekatnya teronggok buah jeruk.... Jeruk yang kisut dan kering.

Tentang Penulis

Ghassan Kanafani dilahirkan di Akka, Palestina tahun1936 dan meninggal pada tanggal 8Juni 1972 karena bom Israel yang dipasang di mobilnya. Istrinya yang berkebanggaan Denmark, Annie, bercerita tentang peristiwa kematian suaminya, “Setiap Sabtu biasanya kami pergi berbelanja bersama. Namun, pada hari itu dia ditemani oleh keponakannya, Lamees. Beberapa menit setelah ia pergi, aku mendengar suara ledakan keras. Aku segera berlari, namun aku hanya bisa menemukan serpih-serpih mobil kami yang hancur. Lamees tergeletak beberapa meter dari ledakan itu, namun aku tidak menemukan Ghassan. Aku berharap bisa menemukan tubuhnya yang terluka, tapi ternyata aku hanya bisa menemukan kaki kirinya. Ia hancur. Sementara anak kami, Fayez, membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Laila kecil menangis: Papa...Papa...kukumpulkan sisa-sisa dirinya, orang-orang Beirut mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Syuhada di mana ia dimakamkan di samping Lamees yang mencitai dan meninggal bersamanya.

Kanafani merupakan figur kesusastraan terkemuka, baik dalam kesusastraan Arab maupun dunia. Karya-karya diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Selama masa hidupnya yang singkat dia memperkaya khazanah kepustakaan Arab dengan karya-karya cukup berharga yang beragam, mulai dari novel, cerita pendek, penelitian sastra, dan esai-esai politik. “Negeri Jeruk yang Sedih” merupakan salah satu karya awalnya yang memotret pengaruh deportasi terhadap rakyat Palestina ketika tentara Israel memasuki negeri mereka pada tahun 1948. Dalam cerita ini Kanafani mencampurkan realitas artistik dengan realitas historis. Meski cerita ini berkisah tentang penderitaan yang dialami oleh sebuah keluarga kelas menengah, namun cerita ini merupakan contoh dari kisah ribuan keluarga Palestina yang harus menderita dan terhina karena terbuang dari negeri mereka serta hidup miskin, setelah malapetaka tahun 1948 yang menimpa rakyat Palestina karena kekalahan tentara Arab dan penciptaan negara Palestina.(Cerpen Ghassan Kanafani)

Sabtu, 23 Februari 2008

Nil Itu Mengalir


Nil masih lagi mengalir tenang, sekalipun hakikatnya tidak pernah reda dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh pemimpin dan rakyatnya. Aku seperti Nil itu. Khabarku masih baik. Cuma hidungku ini masih selesema bahana ribut pasir Khamasin yang mengamuk di Kaherah dua minggu lalu. Langit kemerah-merahan sebelum menjadi gelap-gelita. Hatta, ramai yang menyangka kiamat akan berlaku pabila siang bertukar malam serta-merta.

Sememangnya aku harus terkejut menerima kunjungan warkahmu beberapa hari yang lalu. Empat tahun tanpa sebarang berita memaksa aku beranggapan bahawa engkau tidak lagi mengenangi diri ini. Ya, zaman menengah yang manis - sebelum bergelar mahasiswa - telah kita tinggalkan. Kini aku menghampiri tahun akhir pengajian. Tinggal di Hayyu Sabi'e bersama dua orang temanku. Kalut juga memikirkan panggilan pulang yang kian menjelang datang. Harapan ayah ibu, keluarga, orang kampung, sewaktu mahu berangkat ke sini dulu, semakin acap terngiang. Dan sewajarnya aku tertarik dengan suratmu yang masih semesra dulu. Banyak persoalan yang kaulontarkan - terutama tentang Bumi Kinanah ini.


Sekadar yang kumampu, akan kuberitahu. Lantaran, sekalipun telah lebih seribu hari aku di sini - selaku seorang wanita - tidak semua tempat wajar kujejaki. Kehidupanku berlangsung sekitar Hayyu Sabi'e, Hayyu Thamin, Hayyu A'shir, Kaherah, dan universiti. Mahu bicara tentang apa ya? Membalas keluhanmu di dalam surat terhadap senario pemimpin arab, biarlah aku menyentuh tentang fenomena di sini, terutama sejarah negara ini. Sejarah Republik Arab Mesir yang bermula apabila berlakunya revolusi pimpinan Gamal Abdul Nasser. 23 Julai 1952 adalah tarikh keramat yang menyaksikan tumbangnya institusi beraja kuku besi selama ini. Beliau mati awal 70-an, seterusnya digantikan oleh Anwar Sadat yang menandatangani Perjanjian Camp David sebelum menemui ajalnya di tangan pengiringnya Khaled Islamboli - harga yang harus dibayar di atas perjanjian tercela itu. Pun begitu, Al-Azhar kekal unggul sebagai institusi ilmu Islam terulung sejak satu mileneum.

Biarpun menghadapi serangan pemikiran Barat yang menggila, yang cuba menggugat kestabilannya, namun para ulama tetap bersatu mempertahankannya. Siswazah-siswazah berketrampilan masih berjaya dihasilkan saban tahun untuk kembali memimpin umat di segenap pelosok dunia. Sehingga ke hari ini, Muhammad Sayid At-Tantawi masih lagi menerajui al-Azhar. Ah, tokoh Syeikhul Azhar yang seorang ini.

Barangkali kerana fatwanya yang sering kontroversi, para pelajar lebih mengenang kepergian Syeikh Muhammad Mutawalli Sya'rawie yang tawaduk itu. Sebetulnya aku baru saja selesai imtihan. Bukan lagi Daur Mayu macam dulu, tapi Al-Azhar sudah beberapa tahun mempraktikkan sistem semester.

Cuti ini tidak ke mana-mana. Masa akan kuhabiskan dengan menghadiri kelas-kelas tafaqquh di samping menyertai program-program persatuan. Kala dalam pengajian inilah sebaik-baik masa untuk menyiapkan diri menghadapi masyarakat kelak. Setagal lagi, ada tanggungjawab yang menanti. Jadi, usah terlupa, aku ingin mendengar cerita-ceritamu pula dari Lembah Urdun.

Menikmati hasil kepekaanmu meladeni senario pergolakan di rantau sebelah sini. Nilofar Kaherah 29 Jun 1999 Sham masih terkasima apabila menerima surat bercop Madinah Nasr, Kaherah itu. Semacam tidak percaya. Penantiannya selama ini berakhir juga.

Dia tersenyum sendiri. "Alhamdulillah. Ada harapan…," bisiknya perlahan, antara dengar dengan tidak. Wajah lembut menawan bermata jeli segera memenuhi ruang mata. Dia belum betah melupakan kemesraan silam, apalagi membiarkan ia terpadam. Uzair yang ralit membaca, sempat menangkap kalimat itu. "Harapan apa?" Sham menunjukkan sampul surat bercorak papirus buatan Mesir. Uzair masih lagi belum faham. Tanpa sebarang jawapan, dengan senyuman yang masih melebar, Sham menghadapi monitor, dan terus sahaja membalas: Nil, Terima kasih. Aku juga tidak percaya engkau masih menganggapku sebagai sahabat, walaupun sekian lama terpisah jauh.

Aku masih lagi mengenang dunia persekolahan yang riang. Yang nyata, jarak bukanlah pemisah yang berupaya mengasingkan kita. Nostalgia silam masih terkulum kemas. Aku bersetuju dengan kata-katamu. Ya, seharusnya kita yang berada di Timur Tengah peka dengan kemelut rantau yang senantiasa bergelora ini. Jadikan ia iktibar paling mahal dalam rangkaian pengalaman sepanjang hayat. Aku tertarik amat dengan perbicaraanmu tentang Perlembahan Nil dan sosiopolitiknya. Walaupun ringkas, namun padat intinya.

Tetapi, apa kurangnya di Bumi Isra' ini? Mungkin engkau hanya mengenali Jordan sebagai negara yang rajanya berketurunan Rasulullah SAW, dan punya permaisuri yang demikian jelita. Sejarahnya, sosiopolitiknya, masa depannya, tidak seindah yang disangka. Malah khalayak selalu disogokkan dengan penipuan dan lakonan yang bersinambungan. Jordan asalnya tidak wujud. Yang ada hanyalah Sungai Jordan yang terletak dalam Palestin. Namun, sejurus berlakunya Revolusi Besar Arab, dan tersungkurnya Khilafah Uthmaniyyah di tangan Kamal Attaturk, sejarah asalnya tidak boleh dipakai lagi.

Hasil penjajahan Barat dan perpecahan arab, negara-negara di Asia Barat wujud begitu pesat. Maka, muncullah Arab Saudi, Jordan, Syria, Lebanon, dan Palestin (belum dicampur negara-negara di Teluk). Dan semestinya tidak ramai yang ambil tahu penyelewengan fakta sejarah ini malah tidak mengenali siapa sebenarnya pengasas negara Jordan ini - Syarif Hussin. Seperkara lagi, negara bersistem monarki ini, terlalu kerap bertukar Perdana Menteri. Melucukan. Serasanya, hingga kini jumlahnya hampir mencecah angka 40 sejak kemerdekaan Jordan pada 1946. Pimpinan yang tidak serasi dengan politik rajanya, akan dicantas bila-bila masa.

Aku bermastautin di Irbid, bandar ketiga terbesar di negara ini, 40 km dari sempadan Jordan-Israel. Penempatan yang hampir dengan kampus membolehkan kami berjalan kaki ke kuliah. Dengan jumlah pelajar Melayu yang kian susut tahun demi tahun, tidak sukar untuk kami mengenali setiap penuntut di sini. Dan semestinya kefasihan Lughah Arabiah lebih terjamin memandangkan Jordan tidak seteruk Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara arab lain yang punya lahjah sendiri dan pekat 'ammienya.

Peluang untuk bertutur bahasa arab fushah terbuka luas. Namun segalanya bertolak dari diri kita juga - kebijaksanaan kita memanfaatkan suasana. Kembali berbicara soal Dataran Syam; tidak sah tanpa menyentuh Yahudi - bangsa terlaknat zaman-berzaman.

Kebencian terhadap Yahudi terlalu membuak di hati. Malah aku tinggal berjiran dengan pemuda Palestin yang punya memori ngeri. Satu keluarganya ditembakYahudi, dan dia jadi pelarian. Di sini, setiap hari melihat tampang Yaser Arafat yang berucap terketar-ketar di televisyen akan membibit rasa jelak yang tidak sedikit. Kami tidak pernah percaya dia akan membela bangsanya, sebaliknya mengkhianatinya. Lelaki nasionalis-sekularis tua itu tidak pernah menguntungkan Islam.

Apabila membaca buku 'Al-Yahudiyyah' tulisan Dr. Ahmad Syalaby, kau akan tahu betapa jijiknya bangsa paling pengecut itu. Betapa halusnya dan telitinya jarum-jarum dan strategi mereka. Kau tentu pernah mendengar tentang gagasan Israel al-Kubra, dari Nil hingga ke Furat; juga pertubuhan seperti Rotary dan Lions yang didalangi Freemason. Agen mereka ada di mana-mana.

Tetapi yang lebih menyedihkan adalah pemimpin-pemimpin arab yang kurasakan lebih hina dan munafiq. Jangan terkejut jika aku pernah membaca betapa Gamal Abdul Nasser itu pengkhianat besar (pastinya sumber ini tidak didapati di Mesir) yang telah bersekongkol dengan Yahudi di balik tabir. Memang dia politikus yang pendiam, tetapi oportunis dan licik. Malah ada kajian yang mendakwa latar belakangnya diragui. Dia berdarah Yahudi? Nil, tentunya kau dapat mengesan emosiku yang naik memuncak bila berbicara soal kemelut di Timur Tengah.

Pastinya sudah lumat kau telan hadis Rasulullah SAW yang mafhumnya berbunyi: "Barangsiapa yang tidak 'ihtimam' terhadap hal ehwal orang-orang mukmin, maka ia bukan dari kalangan kami." Aku sebetulnya terlalu sedih dengan suasana pergolakan di sini. Sandiwara bodoh yang dilakonkan oleh munafiq moden dalam penjajahan bentuk baru. Perang Salib sebetulnya belum lagi berakhir.

Akhir-akhir ini aku kian kerap membaca tentang Mesir. Gerak hati mahu ke sana, tetapi segalanya baru perencanaan. Rasanya, tidak salah kiranya aku mahu melawat Medan Tahrir tempat Sofia Hanim Zaghlul dan Huda Sha'rawie mencetuskan "Tahrir al-Mar'ah", Piramid dan Sphinx di Giza, Kota Solahuddin di Iskandariah, dan menyaksikan pertemuan dua laut di Dumyat - di samping menziarahi teman-teman seperjuangan. Dan aku juga mahu kembara mencari suatu kepastian!

Shamsul Azly

Irbid 14 Julai 1999

II

"Jadi kau ke Mesir cuti soifi ni?" Sham mengangguk. Tangannya mencapai sekeping surat yang diunjukkan Uzair. Melihat tulisan tangan di sampul, sudah tahu daripada siapa. Terasa tidak sabar mahu mengetahui isinya. "Ramai lagi akhawat di sini, masih memilih yang Azhariah? Tarbiahnya 'kan sama." "Sama tapi tak serupa. Yang pertama itu lebih membekas di jiwa," jawab Sham dalam nada selamba, seraya tergelak kecil melihatkan sahabatnya menggeleng-geleng. "Aku ada membaca: Sungai Nil mengalir songsang. Betul?" tanya Uzair lagi sebelum berlalu. Sham sengih. Soalan itu tidak menarik perhatiannya. Dadanya berdebar-debar kencang. Tanpa lengah, bucu surat dikoyak, lalu isinya dikeluarkan.

Dia mula membaca: Sham, Benarlah, seperti katamu, kepekaan adalah deria yang paling mahal. Justeru, aku membalas suratmu ini, biarpun naluriku semacam kurang enak. Kepastian apakah yang kauinginkan? Aku kagum dengan kepekaan dan kesedaranmu yang sampai tahap itu. Nyata thaqafahmu jelas mantap, dan siapa sangka boleh membantu menolakmu suatu hari nanti menjadi politikus terkemuka, atau paling tidak penulis politik. Ya, pokoknya kemahuan dan keikhlasan dalam perjuangan. Majalah Al-Wa'yu Al-Islamie yang kubeli kelmarin menyebut tentang gerakan Ikhwanul Muslimin di pelosok Tanah Arab, tanpa menyatakan pergerakan pertubuhan itu di tempat kelahirannya - Mesir. Ia gerakan atau 'harakah' mujaddid Islam yang pertama selepas terkuburnya Khilafah Uthmaniyyah pada 1924. Gerakan yang menghidupkan kembali kewajipan jihad dan berusaha menegakkan daulah Islamiyah di maya pada ini. Diasaskan di Ismailliyah oleh As-Syahid Hasan al-Banna pada 1928. Jelasnya, Hasan bukanlah seorang filsuf, tetapi daya pemikirannya dan tahap kefahamannya terhadap Islam mendahului zamannya.

Kitab "Majmu' Rasa'il Hasan al-Banna" ada menjelaskan dasar pemikiran dan idea-idea bernasnya. Namun, dunia Islam dirasakan terlalu awal menyaksikan kematian mujaddid kurun ke-20nya ini lewat 12 Februari 1949. Ah, semua pendokong gerakan Islam semestinya mengingati peristiwa pembunuhan beliau di hadapan ibu pejabat pertubuhan Syu'banul Muslimin oleh mereka yang kemudiannya terbukti dari kalangan Polis Rahsia Mesir. Mengusik tentang dua dataran ini, sering peranan mahasiswa menjadi persoalan. Soal kita yang bergelandangan ke mari untuk mengutip ilmu-ilmu Allah.

Segalanya bertolak dari niat. Tapi niat itulah yang selalu disalah terjemahkan. Masih ramai yang ke Timur Tengah untuk mengejar segulung syahadah, tanpa memikirkan betapa thaqafah Islamiyyah dan pengalaman berorganisasi sangat penting. Pembentukan sahsiah da'ie sewajibnya bermula di sini - sekadar tazkirah untuk kita bersama. Akan tetapi, engkau kurasakan masih lagi Sham yang aku kenali.Yang kental semangatnya, berjiwa besar, juga iltizam dengan prinsip dan dasar perjuangan. Dan aku terus-terusan segan dengan persahabatan ini. Sejak zaman persekolahan, malah sehingga kini, aku masih gagal mengatasimu dalam bidang apa pun. Semakin panjang surat ini kukarang, semakin terasa bersalahnya. Mungkin inilah suratku yang terakhir, justeru usah aku kauhubungi lagi.

Engkau belum mengerti, Sham, bahkan aku sendiri begitu berat untuk memahamkanmu. Kemalangan telah membunuh kedua orang tuaku dalam sekelip mata. Kami kehilangan tempat bergantung. Adik-beradikku dibela oleh saudara-mara. Dan aku sendiri tidak tahu hitam putih masa depanku, lantas merelakan diri ini… biarpun aku sebenarnya belum bersedia. Akhbar hari ini menyebut, Hosni Mubarak mengugut Sudan yang dikatakan terlibat dalam konspirasi membunuhnya lewat letupan bom berhampiran istananya baru-baru ini. Sedihnya.

Sesama negara Islam yang berjiran - malah berkongsi air Sungai Nil- masih lagi bercakaran. Namun Nil kekal seperti dulu. Mengalir songsang dari selatan ke utara. Menerima apa saja yang berlaku di perlembahannya. Pun aku seperti Nil itu. Pasrah. Menerima seorang 'Azhari' untuk memimpin si yatim piatu yang masih samar-samar hari depannya ini, dan menemaniku sepanjang hayat. Sham, teruskan perjuanganmu. Maafkan dan lupakan aku. Aku bakal isteri orang! Nilofar Kaherah 26 Ogos 1999 Sham melipat surat dua helai yang baru selesai dibacanya.

Tubuhnya bergetar, disandarkan ke kusyen. Menarik nafas panjang sebelum melepaskannya perlahan. Dia berdiri, melangkah masuk ke kamar,dan menghempaskan tubuh di tilam. Atmanya sedikit terusik. Dalam hati diam-diam mengakui.

Benarlah, Nil itu mengalir songsang!

______________
Oleh Zaid Akhtar

Kamis, 14 Februari 2008

Jaring-jaring Merah


Karya, Helvy Tiana Rosa

Apakah kehidupan itu? Cut Di­ni, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup ada­lah cabikan luka. Serpihan tan­pa mak­na. Hari-hari yang me­rang­gas lara.

Ya, sebab aku hanya bisa me­men­­­dam amarah. Bukan, bukan pa­­da rembulan yang mengikutiku sa­­at ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal se­batas luka. Seperti juga hidup itu.

Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan se­­panjang tiga kilometer dari Seu­rue­­ke, menuju Buket Tangkurak, be­­­bukitan penuh belukar dan pepo­hon­an ini. Dadaku telah amat se­sak, tetapi langkahku makin ku­per­cepat. Lolong anjing malam ber­sa­hut-sahutan, seiring darah yang te­rus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.

“Ugh!”

Aku tersandung gundukan ta­nah. Dalam remang malam, ku­li­hat dua ekor anjing hutan me­ngo­rek-ngorek sesuatu, dan pergi sam­bil menyeret potongan mayat ma­nu­sia. Mereka menatap­ku seolah aku akan berteriak kengerian.

Ngeri?


Oi, tahukah anjing-anjing bu­duk itu, aku melihat tiga sampai tu­juh mayat sehari mengambang di su­­ngai dekat rumahku! Aku juga per­nah melihat Yunus Burong dite­bas lehernya dan kepalanya diper­ton­tonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditem­bak di atas sebuah truk ku­ning. Darah me­reka muncrat ke ma­na-mana. Aku melihat te­tang­–gaku Rohani di­te­lanjangi, diper­ko­sa beramai-ra­mai, sebelum ru­mah dan suaminya dibakar. Aku me­lihat saat Geuchik Harun diikat pa­da sebuah pohon dan ditembak ber­ulangkali. Aku me­lihat semua itu! Ya, semuanya. Ju­ga saat mere­ka membantai … ke­luar­ga­ku, tan­pa alasan.

Ffffffhuuih, kutarik napas pan­jang. Jangan me­na­ngis­ lagi, Inong! Ke­ring airmatamu nanti. Meski le­lah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.

Aku merangkak dan maju per­lahan. Dengan ta­­ngan kosong ku­ra­up gundukan tanah me­rah di ha­da­panku. Terus tanpa henti ku­gu­nakan kedua cakar tangan ini. Ke­ri­ngatku meng­u­cur deras, wajah dan badanku terkena serpihan ta­nah merah. Sedikit pun tak kuhi­rau­­kan bau bang­kai manusia yang me­nyengat hidung.

Tiba-tiba tanganku meraba se­su­atu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Ba­nyak tulang. Ca­karku terus menggali. Ku­te­mu­kan beberapa teng­korak, lalu re­mah-remah da­ging manusia. Ah, di ma­na? Di mana tangan kurus Mak?­­ Mana jari manis dengan cin­cin khas itu? Juga cincin tembaga ber­batu hijau dan arloji tua yang dike­nakan ayah saat orang-orang ber­sen­­jata itu membawanya da­lam keadaan luka parah. Di ma­na? Di ma­­na tangan-ta­ngan mereka? Di ma­na tu­lang-tulang mereka di ta­nam? Di mana wajah tampan Ham­­­­zah? Yang mana teng­korak­nya?

Se­kujur tubuhku gemetar me­na­han buncahan duka. Aku meng­gali, terus meng­gali. Hing­ga aku se­ma­kin le­mas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa wak­tu lalu digiring ke bukit ini.

Sssssssttt!

Tiba-tiba, di antara suara se­rang­­­­­ga malam, ku­ping­ku men­de­ngar langkah-langkah orang. Se­pa­tu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka me­nu­ju ke arahku!

Aku harus menyanyi. Ya, me­nya­­nyi nyaring, dengan iringan da­wai kepedihan dari sanubari sendiri.

“Perempuan gila itu!” suara se­se­orang gusar.

“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.

“Ya, juga sangat muda. Ah, su­dahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya ter­ta­wa dan menangis. ”

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si lo­reng-loreng itu. Me­re­ka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku ber­nyanyi ber­sama bulan, awan dan udara ma­lam. Bersama desir angin, bu­rung hantu dan lolong an­jing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami me­nyanyi, kami menari bungong jeum­pa. Lalu aku tersenyum malu, saat Ham­zah yang telah me­mi­nang­ku, melintas di depan rumah de­ngan se­pe­danya. Dahulu. Ya, dahulu….

***

“Inong….”

Aku menggeliat. Cahaya men­tari masuk dari ce­lah-celah bilik. Ha­ngat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, men­co­ba duduk.

“Dari mana, Inong? Aku men­cari­­mu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Bu­ket Tangkurak, subuh tadi.”

Kutatap seraut wajah dalam khe­­­rudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut mem­be­lai kepalaku.

“Aku cuma jalan-jalan. Aku ti­dak mengganggu orang," jawabku sekenanya.

“Aku tahu. Kau anak ba­ik. Kau tak akan meng­gang­gu­ siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Ber­ba­ha­ya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sen­­dirian,” kata Cut Dini sam­­­bil mem­beri­ku minum.

Kugaruk-garuk kepalaku. “The­ri­moung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.

Cut Dini. Ia sangat pe­duli. Ma­ta­­­nya pun selalu me­na­tapku penuh pancaran ka­sih.

Aku kembali merebahkan ba­dan di atas dipan. Sebe­nar­nya aku tak tahu banyak ten­tang Cut Dini. Aku be­lum begitu lama menge­nalnya. Orang-orang bilang ia ang­go­ta … apa itu … LSM? Juga akti­vis masjid. Ia kem­bali ke Aceh sete­lah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di an­tara para te­tangga, yang sudi ber­teman de­nganku. Ia mem­be­ri­ku ma­kan, mem­perhatikanku, men­ceritakan banyak hal. Aku senang se­kali.

Dulu, setelah keluargaku diban­tai dan aku dice­mari beramai-ra­mai, aku seperti terperosok dalam ku­bangan lumpur yang dalam. Se­kuat tenaga kucoba un­tuk mun­cul, menggapai-gapai permu­ka­an. Na­mun tiada tepi. Aku tak bi­sa bang­kit, bahkan me­nyen­­­tuh apa pun, ke­cua­li semua yang ber­na­ma kepa­hit­an. Aku memakan dan memi­num nyeri setiap hari. Sampai aku ber­temu Cut Dini dan bisa menjadi bu­rung. Segalanya te­­rasa lebih ri­ngan.

Tetapi tetap saja aku senang ber­­­­­­­teriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang le­­­wat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan me­ma­sungku. Ka­­ta mereka aku gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yang me­­larang. Cut Dini juga yang meng­ingatkanku untuk mandi dan ma­kan. Ia menyisir rambutku, me­ng­ajak­­ku ke dokter, ke pe­nga­jian, atau sekedar jalan-jalan.

“Baju yang koyak itu jangan dipa­kai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.

“Aku suka,” kataku pen­dek. “Ini baju yang di­ja­hitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”

“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menya­kiti­mu lagi,” ka­ta­nya pelan.

Kupandang baju ungu mu­da yang kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di ­belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah ke­­ring di sana.

“Aku ingin memakainya,” lirih­ku. “Apa aku gila?” ta­nyaku.

Cut Dini menatap bola ma­­­­­­­­­­­­­­­­­taku dalam. “Menurut­mu?”

Aku menggeleng kuat-ku­at. Meng­garuk-garuk ke­pa­la­ku.

“Kau sakit. Kau sangat ter­pu­kul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia meng­gi­git bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan mem­bung­kus baju itu de­ngan ko­ran.

Aku mengangguk-angguk. Te­rus mengangguk-angguk, sambil meng­goyang-go­yang­kan kedua ka­kiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.

“Sudahlah.”

Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al- Quran mungilnya dan membacanya deng­an syahdu. Sua­ranya kadang berubah. Aku se­perti mendengar Hamzah me­ng­a­ji —lewat pe­nge­ras suara— di mu­sala.

Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar ba­­­caan Al-Quran.

***

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku ter­bang tinggi dan ka­dang menukik seke­tika. Aku hinggap di ranting-ranting po­hon belakang dan me­matuki buah-bu­ah di sana. Huh, se­mu­anya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…­ha…ha, aku tertawa gelak-ge­lak.

“Siapa kalian?” tiba-tiba ku­de­ngar suara Cut Dini ber­getar, di ru­ang tamu yang merangkap ka­mar ti­durku.

Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu meng­intip ke da­lam le­wat jendela yang ra­puh. Dua lelaki tegap de­ngan ram­but cepak me­nyo­dor­kan se­su­atu pada Cut Di­ni.

“Kami orang ba­ik-baik. Kami ha­nya ingin mem­be­ri­kan sum­bang­an sebesar li­ma ra­­­­­tus ri­bu rupiah pa­da Inong.”­

Aku nyengir. Li­ma ratus ri­bu? Horeeee! Apa bisa bu­at be­li sa­yap?

“Kami minta ia tidak me­nga­­ta­kan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda se­ba­gai walinya me­nan­da­ta­ngani kertas bermaterai ini.”

Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Menga­pa? Kugerak-gerakkan kepalaku me­natap mimiknya, lebih lekat dari jendela.

“Tidak!! Bagaimana de­ngan pe­merkosaan dan pe­nyik­­saan se­lama ini, pen­jagal­an di rumoh geu­dong, mayat-mayat yang ber­se­rakan di Bu­ket Tangkurak, Jem­ba­tan Ku­ning, Sungai Tamiang, Cot Pang­­lima, Hutan Krueng Cam­pli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “La­­­lu per­­kam­pungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”

Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling ber­pan­­dangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan ma­sya­ra­­­kat.”

“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Ke­nyataannya ma­­syarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang ter­paksa menjadi cuak, memata-matai dan meng­ang­gap teman sen­diri sebagai pengikut Hasan Tiro da­ri Ge­ra­kan Aceh Merdeka. Te­tapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”

“Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lu­pa­kan saja gadis gila itu.”

Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan me­nu­kik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka de­­­ngan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka de­ngan panci dan peng­gorengan. Me­reka berteriak-teriak seper­ti anak ke­cil dan berebutan ke luar ru­mah. Pas­ti itu ayah orang yang mem­perkosaku! Pasti ia te­man para pem­­bunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-na­kuti or­­­ang! Paling tidak mereka cu­ak! Aku benci cuak!

“Inong….”

Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di ke­ja­uh­an.

“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dulu,” kata­nya.

“Mengapa aku tak pernah di­ajak salat?” protesku. “Dulu aku sha­lat bersama keluargaku, se­be­lum aku bisa jadi burung,” tukasku.

“Jangan menjadi burung, bila ingin shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.

***

“Keluar, Zakariaaa! Ke­lu­ar! Atau kami bakar rumah ini!!”

Aku terbangun dan meng­ucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-ge­dor. Ayah berjalan ke arah pin­tu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.

Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang meng­­­­angkat Mak dan memba­wa­nya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzi­kir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.

“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki ber­­­­se­ra­gam. Kurasa ia seorang pe­mim­pin. “Zakaria dan ke­lu­ar­ga­nya membantu anak buah Hasan Tiro se­jak la­ma!”

Warga desa menunduk. Me­re­ka tak mampu mem­bela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Pu­luh­­an orang ini telah membakar be­berapa rumah!

“Jangan ada yang menunduk!”

Aku gemetar mendengar ben­tak­an itu.

“Ayo lihat mereka. Kali­an sama dengan warga Ma­ne… beker­ja­sa­ma de­ngan GPK!” suaranya la­gi.

“Kami bukan GPK!”­su­a­ra Ma’e. Ulon hana teup­heu sapheu!”

“Lepaskan mereka. Ka­lian sa­lah sasaran!” Ya Allah, itu suara Ham­zah!

“Angkut orang yang bicara itu!”

Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, la­lu…ia diinjak-injak! Dan diseret per­gi. Air­ma­ta­ku menderas.

“Siapa lagi yang mau mem­be­la?”tantang lelaki penyiksa itu po­ngah.

“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria ha­nya seorang muadzin. Jiiban­dum ureung biasa.” Sa­mar-samar ku­lihat kepala de­sa kami itu diikat pa­da se­batang pohon.

Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.

“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”

Aku meronta, me­nen­dang,­ meng­­gigit, mencakar, hing­ga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat me­rejam-rejam tubuhku!

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku berteriak se­kuat-kuatnya.

“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!”dua tangan meng­gon­cang-goncang ba­dan­ku.

Air­mataku menganak su­ngai, tetapi aku tak bisa ba­ngun, sebab aku berada di da­­­lam jaring! Banyak orang se­pertiku di sini, di dalam ja­ring-jaring merah ini.

“Inong, istighfar….”

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­­ayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini ber­jatuhan ke sana ke ma­ri. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloo­o­o­o­ong! Di mana sayapku? Di ma­na? Di mana tangan Mak de­ngan cin­cin khas di jari ma­nisnya? Aku ingin menggeng­gamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­gerakkan jaring ke sana ke ma­­ri. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, ter­kelupas dan berdarah. Aku men­jerit-jerit dalam perang­kap. Di ma­na sayapku? Aku ingin ter­bang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah ke­banggaanku hanya tersisa nes­ta­pa!!

Tak ada yang mendengar. Se­buah pelukan yang sangat erat ku­rasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan ber­cam­pur dengan aliran air di pipiku.

“Allah tak akan mem­biarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sem­buh, Inong! Semua sudah ber­lalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Te­gar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi 'l-Lah….”

Ka­bur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus de­ngan kerudung putih itu. Ia me­­ngusap airmataku.

Lalu tak jauh di hada­pan­ku, ku­lihat beberapa o-rang. Di antara­nya ber­se­ra­gam. Tiba-tiba takutku na­ik lagi ke ubun-ubun. Aku meng­­gi­gil dan men­de­kap Cut Dini erat-erat.

“Ia hanya satu dari ribu­an kor­ban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami kea­dil­an. Bapak sudah lihat sen­­diri. Oknum-oknum itu men­­jarah segalanya dari pe­­rem­puan ini!”

Takut-takut kuintip lela­ki tegap yang sedang me­na­tap­­ku ini. Apa­kah ia mem­­bawa jaring-jaring un­tuk menangkapku lagi?

“Pergiiiii! Pergiiii se­mua­aaa!” te­riakku. “Per­gii­ii­iiii!” aku menjerit seku­at-kuatnya. "Pergiiiiii!" aku men­­­­­ceracau. Sekujur ba­dan­­ku ber­ge­tar, terasa ber­pu­­tar. Orang-orang ini ter­sen­tak, me­na­tapku kasih­an. Hah, apa peduliku?! Aku ingin ber­te­riak, me­nga­­muk, mem­porak­po­ran­­­dakan apa dan siapa pun yang a­da di hadapanku! Aku….

Tiba-tiba suaraku hilang. Aku ber­­teriak, tak ada suara yang kelu­­­ar. Aku menangis tersedu-se­du, tak ada airmata yang mengalir. A­ku mengamuk panik, teta­pi kaku. A­ku mencari bunyi, men­cari bening, men­­­­cari gerak. Tak ada apa pun. Cu­ma luka nga­nga.

“Inong…, mereka akan mem­ban­tu kita….”

Aku terkapar kembali. Meng­gele­par. Berdarah da­lam jaring.***

Cipayung, 1998

Referensi:

- Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.

- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).

- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.

Daftar istilah:

Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak

Geuchik : Kepala Desa

Cuak : orang yang jadi mata-mata tentara

Ma’e : panggilan untuk Ismail

Mak : Mak

rumoh geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)

Mane : nama desa di Pidie

ureung-ureung : orang-orang

that : sekali

ulon hana teupheu sapheu : saya hanya orang biasa

therimoung ghaseh : terima kasih

kherudoung : kerudung

(Dimuat dalam Horison, April 1999)

Selasa, 12 Februari 2008

kota kelamin


Kota Kelamin
Cerpen Mariana Amiruddin
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.

Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.


Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.

Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.

Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.

Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.

Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.

Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.

Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.

Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.

Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?

Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.

Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.

Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.

Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?

Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.

Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati.

Jumat, 08 Februari 2008

Kasus RSUD Nene Mallomo




Kejari Belum Siap Beberkan hasil Pemeriksaan

Terkait Kasus RSUD Nene Mallomo

Meski telah memeriksa ketua Lembaga Swadayan Masyarakat Forum Masyarakat Anti Korupsio (LSM Formak), Abd Karim, selaku pelapor dan Direktur RUmah Sakit Umum Daerah (RUSD) Nene Mallomo kabupaten Sidrap, dr H Harman Haba M Kes terkait kasus penyalahgunaan anggaran proyek Sistem Informasi Manajemen Kesehatan (SIM-K) yang dianggarkan pada tahun 2007.

Pihak Kejaksaan negeri (Kejari) Sidrap belum siap mebeberkan hasil pemeriksaan.
Kasi Pidsus Kejari Sidrap, Hendri Hanafi yang ditemui belum lama ini mengakui telah
memanggil pihak pelapor dan yang dilaporkan dalam kasus tersebut.Hanya saja ia belum
bersedia memberikan keterangan yang lengkap mengenai hasil pemeriksaannya. ”Proses
pemeriksaan masih tetap berlangsung, kita lihat saja nanti perkembangannya,” jelas Hendri Hanafi.



Hal yang sama juga dikatakan oleh Kepala Kejari Sidrap, Riskiana Ramayanti. Menurutnya masih banyak data yang dibutuhkan, sehingga merasa khawatir data tersebut dihilangkan jika hasil pemeriksaannya langsung diekspos. Namun demikian dia menjanjikan bahwa pihaknya sangat serius menangani kasus tersebut.
”Ini bukti keseriusan kami untuk menangani laporan warga yang berkaitan dengan
penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat. Tapi kami selalu mengingatkan kepada warga agar melengkapi laporannya dengan data,” jelas Kejari baru Sidrap ini.

Sekedar dikatahui bahwa belum lama ini pihak kejari telah melakukan pemeriksaan terhadap Direktur RSUD Nene Mallomo, Harman Haba. Dalam pemeriksaan tersebut Harman menjelaskan bahwa sebenarnya pengadaan barang untuk proyek tersebut sudah terlaksana, namun peralatan tersebut belum bisa difungsikan karena daya listrik yang tidak cukup.
Selain itu, Harman juga menjelaskan bahwa laporan tentang tidak adanya tenaga ahli untuk mengoperasikan peralatan SIM-K, juga tidak benar.

Menurutnya pihak rumah sakit telah melatih sejumlah tenaga yang dipersiapkan untuk mengelola proyek tersebut. Begitupun dengan usulan beberapa pihak yang meminta agar sejumlah komputer yang dipergunkan dalam SIM-K itu, menggunakan energi alternatif dari genset. Menurut Harman Haba genset dipergunakan untuk mengantisipasi padamnya listrik, terutama di ruang Unit Gawat Darurat, Kamar Operasi dan Bank Darah.
”Belum lagi biaya operasional genset tersebut cukup besar, yang bisa menghabiskan 20 liter solar per jam. Sementara sejak beberapa tahun terakhir, daya listrik di Nene Mallomo hanya 23.000 watt. Jumlah tersebut tidak mampu menjamin kebutuhan listrik bahkan untuk pemanfaatan AC, sangat tidak memadai,” jelasnya.

Dihadapan pemeriksa, Harman Haba juga menjelaskan bahwa pertengahan Januari lalu, daya listrik di RSUD Nene Mallomo telah dinaikkan menjadi 147.000 watt. Dengan daya listrik sebesar itu, diakuinya operasional di rumah sakit itu sudah mulai maksimal, termasuk SIM-K yang laporkan bermasalah itu.

”Kami menegaskan bahwa SIM-K tersebut sudah mulai beroperasi, meskipun bertahap, dan tidak ada lagi masalah dengan proyek itu. Yang jelas, kami merasa tidak melakukan pelanggaran apapun dalam masalah itu,”ujar Harman. (hamsah)

Sabtu, 26 Januari 2008

Towani Tolotang Rayakan Hari Besarnya




Towani Tolotang Rayakan Hari Besar

Rela Berjalan Kaki Sejauh Tiga Kilometer
Setiap tahun seluruh pengikut Towani Tolotang di seluruh Indonesia berdatangan keAmparita untuk merayakan hari besar Parinyameng Karena acara itu hanya bisa dilakukan di lokasi itu.

Sudah menjadi adat kebiasaan di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe,
daerah basis agama Towani Tolotang bahwa tiap tahunnya daerah tersebut diramaikan oleh ribuan penganut agama Towani Tolotang yang datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia untuk meramaikan hari besar agama itu.



Hal sama kembali dilaksanakan Rabu 23 Januari Lalu. Meskipun matahari belum
sepenuhnya menampakkan diri dari ufuk timur, jalanan yang berada di samping pasar
Sentral Amparita sudah mulai disesaki oleh para penganut agama Towani Tolotang
yang mulai star untuk jalan kaki ke Daerah Parinyameng.

Penganut agama Towani Tolotang yang datang lebih awal, langsung berjalan tanpa
menggunakan alas kaki kearah barat daya Amparita. Umumnya baik laki-laki maupun
perempuan identik dengan memakai sarung dan bagi perempuan memakai seragam
baju kebaya.

Tidak ketinggalan iring-iringan kuda yang tumpagi para pembesar Towani tolotang
(Uwa,red) juga terlihat diantara para pejalan kaki. Umumnya iring-iringan kuda itu,
dikawal oleh penganut Towani Tolotang dengan seragam Sarung berwarna merah.

Menariknya dari para pejalan kaki baik tua maupun muda bagi kaum perempuan
umumnya memakai seragam baju kebaya yang sama sehingga sekilas sulit
dibedakan wanita tua dan muda.

Salah seorang anggota DPRD Sidrap Edy Slamet yang juga tokoh agama Towani
Tolotang menjelaskan bahwa saat itu seluruh pengikut agama tersebut di seluruh
Indonesia berkumpul ditempat itu seperti yang terjadi setiap tahunnya. Itu kata dia
karena peayaan seperti itu hanya bisa dilaksanakan di Amparita.

”Meskipun acara itu hanya bisa dialksanakan disini, tapi lebih dari itu, acara ini juga bertujuan untuk mempererat persatuan dan kesatuan sesama penganut Towani
Tolotang dan juga penganut agama lainnya,” jelas Edy Slamet.

Dilaksi Parinyameng yang terletak di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe
Tempat berlangsungnya perayaan hari besar Parinyameng, ribuan penganut Towani
Tolotang ramai-ramai berziarah ke makam nenek moyang mereka.

Dilokasi Parinyameng tempat berlangsungnya acara selain melakukan ziarah ke
makam nenek moyang mereka, sejumlah tempat juga turut kunjungi. Selain dari
penganut Towani Tolotang juga nampak hadir pengunjung lainnya diluar penganut
Towani Tolotang yang juga terlihat ditempat itu.

Kegiatan khas bagi Agama Towani Tolotang itu, memang terbuka untuk umum, hanya
saja ada sejumlah lokasi yang dilarang untuk dikunjungi orang lain selain penganut
agama itu.

"Ditempat ini banyak juga warga lainnya yang datang hanya sekedar menyaksikan
berlangsungnya acara ini, tapi pada tempat-tempat tertentu yang dilarang keras bagi
warga lainnya untuk berkunjung kesana,"jelas salah seorang tokoh Towani Tolotang,
Edy Slamet.

Anggota DPRD Sidrap ini juga menyebutkan bahwa selain adanya larangan untuk
mengunjungi tempat terlarang di Perinyameng, di dalam lokasi Parinyameng juga
dilarang untuk mengambil gambar.

Diantara para pengunjung dari warga non Towani Tolotang yang juga turut memadati
lokasi keramat bagi kelompok agama yang besar di Kelurahan Amparita Kecamatan
Tellu Limpoe itu, mereka terlihat sikap serius dari raut muka mereka yang ingin
menyaksikan perayaan itu dari dekat.

Salah seorang pengunjung, Hajar, mengaku baru pertama kali mengikuti acara itu.
”Saya sangat tertarik untuk melihat acara ini, sekalian menghadiri undangan teman
yang kebetulan menganut agama Towani Tolotang ini,” jelas Hajar.

Selain Hajar, juga turut dalam acara tersebut, Bupati Sidrap A Ranggong, Ketua
Pengadilan Negeri Sidrap Nugroho Setiadji, Kepala Kejaksaan Negeri Sidrap
Rizkiana Ramayanti, Wakil Kepala Kepolisian Resort Sidrap, Komandam Kodim 1420
Sidrap, sejumlah anggota DPRD Sidrap, dan sejumlah pejabat di beberapa SKPD di
Sidrap.

Para pejabat lingkup Sidrap ini juga terlihat serius menyaksikan beberapa rangkaian
kegiatan yang memang terkesan dikemas untuk umum.

Peringatan hari besar bagi penganut Towani Tolotang ini kental dengan sajian
pertunjukan tradisional dan sajian unik. Pertunjukan itulah yang nampkanya menyedot
perhatian bagi para pengnjung lainnya untuk melihat perayaan itu lebih dekat.

Perayaan hari besar bagi penganut Towani Tolotang itu, ternyata tidak semata
menonjolkan tampilan massa yang begitu besar, yang mencapai ribuan massa.
Pasalnya sejumlah pertunjukan juga turut di pertontonkan oleh penganut Towani
setelah menempuh perjalanan sejauh tiga kilometer untuk tiba di Parinyemeng lokasi
berlangsungnya puncak perayaan.

Di Parinyameng, dipersaksian penampilan khas dalam perayaan Parinyameng
tersebut, penampilan yang dimaksud seperti iring-iringan rombongan pejalan kaki
tanpa menggunakan alas. Selain itu, juga diharuskan menggunakan sarung, baju
berkerah dan menggunakan kopiah bagi lelaki dan baju kebaya bagi perempuan.

Hal yang tidak kalah menariknya karena dalam acara terseut disebutkan selalu
disajikan tuak manis dan rebus kacang sebagai sajian khas. kebiasaan ini merupakan
kebiasaan yang wajib dilakukan di lokasi Parinyameng.

Setelah mengikuti prosesi perayaan Parinyameng, warga Towano Tolotang itu
selanjutnya mengadakan sejumlah permainan tradisional seperti massempe (adu
kekuatan dengan menggunakan kaki-red), gasing, dan adu ketangkasan lainnya.

Kagiatan tradisional ini tentu saja menjadi tontonan menrik bagi para pengnjung
termasuk rombongan Bupati Sidrap, HA Ranggong yang hadir dengan sejumlah
bawahannya. Pertunjukan ini pulalah yang menjadikan sejumlah warga diluar penganut
Towani Tolotang untuk datang kelokasi itu.

"Meskipun saya bukan penganut Tolotang, tapi saya cukup senang menyaksikan
kelangsungan acara mereka, makanya sejak pagi hari saya sudah dilokasi ini, selain
untuk menyaksikan iring-iringan saat mereka berjalan ke Parinyameng saya juga tidak
ingin kehilangan momen lain seperti pertunjukan unik yang sering ditampilkan dalam
acara ini,"ujar salah seorang pengunjung, Latifah yang mengaku telah tiga kali ikut
menyaksikan acara tersebut.

Perayaan yang berlangsung setiap satu kali satu tahun di kelurahan Amparita
Kecamatan Tellu Limpoe itu, dimulai dari rumah tokoh agama Towani Tolotang,
kemudian berjalan kaki sejauh tiga kilo meter ke arah barat daya Amparita. Di lokasi
itulah sejumlah pertunjukan dan ritual dilaksanakan.

Kesaksian Korban Aliran 'Pemburu Harta Karun'



Mawar (nama Samaran), Warga Amparita tidak menduga jika dirinya akan digiring ke Kabupetan Wajo untuk sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan. Di tempat itu ia di haruskan melayani nafsu KM (Lakammang), dengan alasan sebagai pembuka tabir uang yang diyakini berjumlah milyaran rupiah.

Mawar (nama samaran) warga Amparita mengaku sangat kelas dengan ulah yang telah di perbuat oleh HN (Hj Anti) yang juga masih kerabat dekatnya. Bahkan bukan itu saja Mawar juga mengaku sempat kesal dengan orang tuanya yang ia duga sekongkol dengan HN untuk menyeretnya ke ke Lajokka Wajo tempat KM dan rekannya melaksanakan aksi cabul mereka.



Mawar mengaku sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya akan di giring ketempat tersebut, sebab saat ia di apnggil oleh HN, orang tuanya juga terlihat ikut bersama HN. Sehingga saat diajak, Mawar mengaku tidak merasa curiga sama sekali apalagi HN yang mengajaknya masih termasuk keluarganya juga.

Awal penipuan oleh HN yang merupakan sales pengadaan gadis perawan bagi aliran Cahaya Putra Wage itu bermula dipertengahan bulan Desember lalu sekitar tanggal 14 Desember 2007 tepanya hari jumat. Pagi harinya HN kerumah orang tua Mawar, mencari orang tua Mawar Baharuddin. Namun saat itu Orang tua Mawar tidak berada ditempat. Melihat Orang tua Mawar tidak ditempat HN tidak kehabisan akal, kepada penghuni rumah HN berpesan supaya Baharuddin disuruh kerumahnya karena ada makanan yang hendak di baca.

"Dia kan tahu pasti bahwa saya sering dipanggil untuk membacakan doa jika ada acara syukuran atau cara lainnya yang sering dilaksanakan masyarakat di daerah ini, sehingga saat salah seorang anggota keluarga menyampaikan pesan HN saya langsung kerumahnya, namun dirumah HN ternyata tidak ada yang hendak dibaca,"Jelasnya.

Baharuddin mengaku bahwa saat di rumah HN ia memang sempat ditanya tentang keberadaan Mawar. Mandapat pertanyaan seperti itu Baharuddin menjelaskan keberadaan anaknya yang saat itu berada dirumah kakaknya di Pangkajene Sidrap.

Setelah bertanya demikian HN kemudian menyampaikan maksudnya untuk menjodohkan anak Baharuddin (Mawar.red) dengan kerabat suami HN, Ir Hamzah. Namun saat itu HN disebutkan belum menyebutkan nama dia hanya menjelaskan bahwa yang bersangkutan adalah seorang keturunan berada dan keturunan bangsawan bugis (yang bergelar Andi,red).

Mendengar tawaran HN, Baharuddin mengaku tidak menaruh curiga, sehingga maksud Hn tersebut di tanggapi positif. Sehingga sore harinya HN bersama Suaminya ditemani Baharuddin segera menuju ke rumah tempat Mawar berada.

"Saat itu saya tidak curiga sama sekali, karena saya pikri itu maksudnya bagus untuk mencari kecocokan dan merapatkan kembali keluarga yang mulai renggang,"kilah Baharuddin.

Di rumah tenpat tinggal Mawar di Pangkajene, HN langsung mengutarakan maksud tersebut ke kakak Mawar, bahwa ia akan membawa Mawar ke Amparita untuk dipertemukan dengan salah seorang kerabat suaminya Ir Hamzah, di Amparita. Kakak Mawar yang mendengar alasan itu juga tidak menaruh curiga sama sekali, apalgi HN juga ditemani orang tuanya.

Saat HN mengtarakan maksudnya Mawar saat itu tidak berada dirumah. Mawar disebutkan berada di rumah tetangganya. Namun karena waktu menjelang Magrib, Mawar langsung kembali kerumah kakanya. Namun belum sempat Mawar duduk, HN langsung memerintahkan agar Mawar segera berganti pakaian. Diperintahkan demikian tentu saja, Mawar langsung ,elayangkan pertanyaan.

"Mau kemana tante,"ujar Mawar tanpa curiga.

Mendengar pertanyaan itu HN hanya tersenyum dan berkata, "Ada deh, kita akan jalan-jalan,"ungkap Hn penuh kemenangan.

Saat Azan berkumandang adri Masjid HN beserta suaminya segera berlalu dari rumah tempat tinggal Mawar dan kakaknya.

Dari kesaksian Mawar, dari rumag kakanya sebelum ke Wajo ia masih sempat singgah di salah satu rumah pengikut aliran pemburu harta karun di Pangkajene tidak jauh dari rumah kakanya. Mawar menjelaskan bahwa ia berangkat ke Wajo selepas Isa bersama pengikut penghuni rumah yang sempat ia singgahi yang ia duga sebagai pengikut aliran tersebut.

"Saat berangkat itu saya sama sekali tidak tahu apa-apa,"katanya.

Sesampainya di Wajo ia tetap dikawal oleh HN. Di Wajo Mawar dibawa kesalah satu rumah pengikut aliran itu. Dirumah yang dimaksud itu sementara berlangsung ritual ghaib. Mawar menjelaskan bahwa selama satu malam itu tidak ada orang yang tidur termasuk dirinya. Sekitar pukul 00.00 wita Mawar mengaku di kawinkan dengan KM yang saat itu dibuat kesurupan. Anehnya kata dia, saat akan dinikahkan ia mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya satu kata yang bisa di ucapkan yaitu 'iya'.

"Saya kayak dihipnotis malam itu, kita tidak bisa melawan namun setelah beberapa menit saya kadang bisa melawan,"ujarnya.

Anehnya kata Mawar, pada pukul 02.00 wita ia kembali dikawinkan. Kawin yang terakhir itu kata dia disebutkan sebagai kawin batin. Sekitar ppukul 04.00 Wita menjelamng subuh, Mawar mengaku di perintahkan masuk ke kamar untuk menemani Km yang saat itu dipanggil dengan sebutan wali Allah.

Saat diperintah demikian Mawar mengaku berusaha keras untuk menolak. Namun ia juga mengaku bahwa ia sering tidak berdaya dan menurut namun ia tetap mengaku berusaha melawan untuk tidak meladeni KM.

"Malam itu saya betul-betul tersiksa, saya mau menelpon HP saya di sandera oleh HN,"katanya.

Upaya perlawanan Mawar terus berlanjut sehingga pagi harinya, ia mengaku sempat mengambil HP milik KM dan menelpon kakaknya di Pangkejena mengabarkan kondisinya. Sehingga hari itu juga, keluarganya langsung datang kelokasi tempat 'dukun cabul' tersebut berada dan membawa Mawar dari tempat itu.

Anehnya, saat kembali kerumah kakaknya, kondisinya sudah tidak stabil. Mawar dikabarkan sering kerasukan dan mengamuk. Sehingga oleh pihak keluarga Mawar diobati secara terus menerus bahkan pengibatan mawar disebtkan samapi di Parepare.

Selain Mawar, korban lainnya Melati (nama samaran) yang juga warga Amparita juga pernah mengalami hal yang sama. Lagi-lagi Melati juga disebutkan korban yang berhasil di kelabui oleh HN melalui orang tuanya. Korban lainnya yakni Ros (nama samaran) yang merupakan warga Pangkajene.

Berbeda dengan Mawar dan Melati, Ros justru di sebutkan jadi korban selain karena pengaruh HN juga karena keinginan orang tuanya, M Rasyid, yang juga salah seorang pengikut dari cahaya putra Wage tersebut.

"Saya mengikuti aliran ini karena misinya bagus untuk membantu kaum miskin,"jelas Ros.

Selain itu, ia juga mengikuti keinginan orang tuanya yang juga punya misi sama untuk membantu kaum lemah dan miskin. sayangnya Ros juga mengaku bahwa selama mengikuti aliran itu, dan telah ditiduri oleh KM selama satu bulam lebih ia tidak pernah melihat aksi sosial untuk membantu kaum lemah itu. Sekedaer diketahui bahwa Mewar disebutkan sebagai istri ke 4, Melati istri ke 7 dan Ros istri ke 5. Istri lainnya belum diketahui keberadaanya.

Dibalik kesuksesan KM mempreteli Keperawanan para korban. Dalih yang dijanjikan KM adalah janji uang triliunan rupiah yang diakuinya hanya bisa dicairkan oleh dia. Selain itu iapun menklaim hanya dia yang bisa menembus ventira (Lokasi sebuah daerah di Palu Sulteng, yang diyakini tempat tersimpannya harta karun).

Aliran 'pemburu harta karun' dengan modus penipuan untuk mempreteli keperawanan para gadis di dua Kabupen Wajo dan Sidrap meski kini telah ditangani pihak kepolisisan namun kini masih tetap marak di perbincangkan di tengah-tengah masyarakat. Aliran yang telah banyak menodai kesucian para gadis itu menjadi buah bibiri dan kutukan bagi masyarakat khsusnya di kabupaten Sidrap.

Terlebih lagi, salah seorang pengikut aliran ini suami AN (Hj Anti), Ir Hamzah (Lagaceng) masih bebas berkeliaran di Sidrap. Itu tentu saja menjadi sumber kekesalan warga yang ber,ukim di sekitar Kelurahan Amparita bahkan sejumlah warga mengaku akan menyerbu rumah korban jika yang bersangkutan masih tetap tinggal di kampung itu.

Bukan hanya itu AN, istri yang bersangkutan sendiri dihadapan polisi mengaku keberatan jika suaminya tidak ditangkap sebab kata dia suaminya juga adalah aktor kuat dibelakang aliran itu. "Bahkan suami saya yang paling banyak mengatur strategi,"jelas AN.

Sementara KM, yang ditemui saat masih menjalankan pemeriksaan di Polres Sidrap, tetap mengaku yakin dengan pemburuan harta katunnya. Menurutnya dengan mencabuli sejumlah gadis, ia yakin uang yang dimaksud akan terbuka dan akan di manfaatkan oleh para gadis yang telah di setubuhi itu.

Besarnya keyakinan KM itu karena KM mengaku pernah bertemu dengan makhluk gain yang diyakininya sebagai Wali. Wali itulah yang menurutnya menyarankan untuk melakukan ritual seperti itu dan mencarikan tumbal gadis yang rela tidur bersama KM sebagai perantara dari wali yang di maksud.

"Saya meyakini dia Wali karena dia tidak memiliki garis (sebentuk lubang dibawah hidung,red) layaknya manusia,"jelas KM.

KM menyebutkan bahwa makhluk gaib itulah yang meminta sejumlah persyaratan seperti yang dilakukannya. Dalam hal ini melakukan kawin gaib dengan sejumlah gadis dan melakukan hubungan intim layaknya suami istri.

Untuk melancarkan misi itu, Km menggunakan jasa AN untuk menjadi semacam sales yang mendatangkan sejumlah perempuan. Melalui jasa An itulah terkumpullaj sejumlah gadis yang telah di jadikan tumbal oleh aliran ini.

Untuk langkah pencairan, Km juga mengaku hanya dialah yang bisa menembus ventira tempat yang diyakini sebagai gudang harta karun itu sekaligus tempat bersemayamnya makhluk gaib yang diyakininya sebagaiwali itu.

Selain itu, dari penjelasan para pengikutnya, mereka yakin KM mampu mendatangkan uang seketika dari balik kera belakang bajunya, ketika para gadis yang di jadikan tumbal itu meminta untuk dibelikan sesuatu. Sayangnya dari pengakuan para korban tidak pernah sekalipun Km mapu mendatangkan uang yang dimaksud. Bahkan dari informasi yang dihimpun PARE POS, dari setiap korban yang di jadikan tumbal semua dijanjikan uangnya akan segera dicairkan ada yang dalam wakti semalam ada yang tiga malam namun kenyataannya tidak sama sekali.

"Waktu saya, malam itu kinci uangnya dikatakan akan terbuka tapi nyatanya tidak ada sama sekali ini betul-betul penipuan hanya sebagai misi cabul semata,"kutuk Mawar.