Rabu, 30 November 2011

Aku Hanya Ingin Dipercaya

Karya : Hamsah

Mungkin Semua Sudah Terlambat
Saat aku memilih jatuh kepelukan orang lain
Saat kau masih bingung dengan pilihan
Saat kau masih dalam keraguanmu

Mungkinkah semua sudah terlambat
Menyulam rasa tidak percaya di hatimu
Merajuk kasih yang goyah


Jika pun telah terlambat
Semua karena rasa tidak percayamu
Semua karena curigamu
Semua karena hatimu buta melihat kasih sayang ku

Namun jika belum terlambat
Aku hanya ingin di percaya
Aku hanya ingin kasih berbalas sayang
Aku hanya ingin kita hidup untuk sebuah masa depan



Yah ….
Aku hanya ingin dipercaya
Itu harapan ku sejak dulu
Sejak dua hati bermula kita satukan
Namun mungkinkah rasa percaya itu ada?

Untuk mengubah gundah jadi damai
Untuk memulai masa depan baru
Untuk membangun pondasi bahagia
Bersama sang buah hati

Penantian Panjang

Karya : Hamsah


Suara azan subuh menggema dari mesjid-mesjid terdekat. Membuat Anti terjaga dari tidur. Hujan yang turun sejak malam membuat cuaca subuh itu sangat dingin. Namun cuaca dingin yang menusuk hingga ke tulang itu tidak menghalangi Anti untuk bangun Shalat Subuh. Dari pembaringan Anti langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Perlahan Anti membasuh bagian tubuhnya dengan air wudhu. Dingin sudah pasti, namun bagi Anti nampaknya itu sudah menjadi hal yang biasa. Tidak ada sedikitpun rasa kedinginan yang terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Allahu akbar,”begitulah Anti memulai Shalatnya. Meski hanya dua rakaat, namun Anti begitu lama dalam menjalankannya. Seolah ia meraskan perasaan damai ketika sedang tafakkur dalam shalatnya. Waktu paling lama biasanya Anti lewatkan saat sedang berdoa. Bahkan tidak jarang ia menangis dalam doanya. Entah apa yang hadir dalam pikirannya ketika berdoa itu sehingga ia sangat sering menangis. Mungkin itulah yang disebut khsusu’.
Di luar rumah angin disertai hujan masih turun. Meski hujannya tidak sederas hujan pada malam harinya, namun gumpalan embun yang menyelimuti alam membuat suasana subuh terlihat sangat gelap. Hanya cahaya lampu di ruang tamu yang sengaja dinyalakan yang membuat suasana menjadi terang.
Usai menunaikan Shalat Subuh, Anti tidak kembali ke kamar tidur. Ia masih terlihat duduk sambil membaca beberapa ayat Al-Quran. Saat kegelapan mulai bergeser, dan pepohonan yang tumbuh di halaman rumah Anti mulai jelas terlihat, Anti bergegas membuka jendela rumahnya. Setelah itu, perlahan ia keluar dan duduk di sebuah kursi di teras rumahnya.
Matanya tertumpu pada bunga-bunga yang mulai mekar di halaman rumahnya. Butiran-butiran air masih terlihat jelas di dedaunan dan pada bunga yang sedang mekar itu. Seulas senyum merebak dari bibirnya. Senyum yang membuat setiap yang melihatnya akan kagum dengan kecantikannya. Di usianya yang sudah menginjak 30 tahun tidak mengurangi tanda kecantikan di wajahnya. Itu juga menandakan bahwa diusia remajanya, Anti merupakan gadis yang sudah pasti diidolakan pria sebayanya.
Pagi itu, Anti nampaknya memang hendak memperlihatkan senyum pada alam yang mulai melepas kegelapan menuju pagi yang cerah. Matahari pun mulai menampakkan diri seolah menyambut senyum Anti yang sejak pagi sudah memandang alam sekeliling dari teras rumahnya. Terpaan sinar matahari itu membuat wajah Anti makin jelas terlihat. Bahkan sebuah tahi lalat kecil yang berada dekat hidungnya juga terlihat. Namun dibalik wajah yang berbinar pagi itu, disudut lain wajah Anti juga memberikan isyarat lain pula. Sebuah isyarat bahwa ada sesuatu yang berat sedang ia pikul.
Puas menghibur diri menyaksikan pergantian dari kegelapan ke suasana terang benderang, Anti kemudian bergegas menuju ruang dapur. Perlahan ia membuka kulkas yang berada dipojok kanan ruang dapur itu. Diperhatikannya segenap isi kulkas, kemudian memilih bahan untuk menu sarapan paginya hari itu sebelum ke kantor.


Anti memang bekerja di salah satu instansi pemerintahan di daerahnya. Dan sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi, sebelum berangkat ia memilih menu sesuai seleranya. Pagi itu Anti memilih menu mie goreng campur telur. Dengan cekatan, ia kemudian menyelesaikan masakannya. Kali ini ia memasak tidak terlalu lama, sebab ia hanya memasak untuk satu porsi saja. Biasanya ia memasak untuk dua porsi, ketika suaminya ada di rumah. Namun pagi itu ia memang hanya seorang diri. Tiga hari yang lalu suaminya berangkat ke luar daerah untuk urusan bisnis.
Suami Anti memang seorang pebisnis antar daerah. Kerjanya mengantar barang-barang hasil bumi dari daerahnya, kemudian dari daerah tujuan ia juga membawa barang yang menjadi kebutuhan masyarakat di daerahnya. Bahkan kebanyakan barang yang ia bawa dari daerah tujuan bisnisnya itu adalah pesanan dari para pedagang di daerahnya.
Usia pernikahan Anti dan suaminya sudah berlangsung tiga tahun. Namun hingga saat ini, ia belum juga mendapatkan momongan. Berbagai cara telah ditempuh, berobat ke dokter hingga berobat tradisional sudah dilalui, namun belum juga ada hasil. Anti sendiri juga sudah tidak sabar ingin mendapatkan momongan, namun saat ini impian itu masih sebatas penantian yang entah kapan Tuhan berikan. Padahal setiap habis shalat, ia tidak pernah berhenti berdoa agar segera dapat keturunan.
Penantian Anti bertambah, ketika ia pun hampir setiap saat harus sabar berada dalam kesendirian selama satu sampai dua minggu ditinggal suami. Saat itu tentu saja Anti lagi-lagi menambah daftar penantian dalam buku diari kehidupannya. Untuk menghibur diri itulah, sehingga Anti setiap pagi berusaha bersahabat dengan alam sekitarnya. Bersahabat pada bunga-bunga dan pepohonan di halaman rumahnya dan berteman dengan proses pergantian malam menjadi pagi, bahkan bersahabat dengan rasa kesepian yang menghampirinya hampir tiap waktu.


Usai sarapan pagi, Anti bergegas mandi kemudian mengenakan pakaian kantor dan selanjutnya langsung menuju kantor. Di kantor, Anti tetap bekerja dengan baik. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa dalam batinnya sedang tersimpan beban yang sekuat tenaga ia pikul. Bagi Anti, nampaknya suasana kantor juga ia manfaatkan untuk menghibur diri. Muka ceria tetap ia tampakkan pada teman-teman kantornya. Tak sedikitpun ada wajah murung ia tampakkan, kecuali rasa lelah ketika habis menyelesaikan pekerjaan kantor yang tiap hari tidak pernah berhenti. Bahkan Anti pun nampaknya sudah menyatu dengan pekerjaannya, dan menjadi penghibur baginya.
“huff…patungan beli gorengan yuk,”ajak Anti pada suatu hari. Saat itu ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ajakan Anti langsung ditanggapi baik oleh teman-temannya yang lain.
Begitulah keseharian Anti. Sikapnya yang periang, membuat teman-teman kantornya akrab dengan dia. Namun meski akrab, tidak ada satupun yang tahu bahwa dibenaknya menyimpan pengharapan yang membuat hati kecilnya kerap menjerit.
Ketegaran yang dimiliki Anti, membuat setiap persoalan pribadi dan keluarganya tidak pernah diketahui teman sekantornya. Meski teman dekatnya kekalipun. Ia memang berbeda dengan beberapa temannya yang seolah tanpa beban menceritakan privasinya pada orang lain.
Suatu hari, jam menunjukkan pukul 10.00 waktu setempat. Saat itu Anti sedang serius berada di depan kumputer menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba hand phone miliknya bordering. Tidak biasanya ia kaget mendengar deringan handphone miliknya. Perlahan tangannya menggapai Handphone yang berada berada disamping computernya. Rasa was-was menghampirinya ketika sedang memencet tombol warna hijau di handphonenya sebagai tanda menerima panggilan tersebut.
“halo, selamat siang,”sapa suara dari Handphone.
“Siang juga, dengan siapa yah?,”Tanya Anti penasaran.
“Ini dari keluarga kamu dari Provinsi Seberang,”jawab suara tersebut memperkenalkan diri. Suara tersebut berasal dari Provinsi Seberang, sebuah provinsi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kota Anti tinggal. Provinsi yang selain bisa dijangkau melalui jalur udara, juga bisa dengan jalur darat. Kota tujuan bisnis suami Anti selama ini.


“ohhh… kenapa yah, ada kabar apa,”Tanya Anti.
“Anu, sebenarnya saya tidak ingin menyampaikan kabar ini ke kamu, tapi selaku keluarga, saya juga tidak ingin menyembunyikan hal ini. Beberapa hari lalu, kami mendapati suami kamu dengan seorang perempuan. Tapi, awalnya kami tidak mau berprasangka buruk, namun lama-lama kami mulai curiga, suami kamu memiliki hubungan tertentu dengan perempuan itu. Kami juga tidak mau memastikan, tapi baiknya kamu yang tanyakan langsung ke suami kamu, atau apalah tindakan kamu yang jelas disini kami ada curiga dengan dia,”jelas suara dari balik telpon itu panjang lebar.
Mendengar kabar itu, Anti terasa disambar petir. Hampir saja ia teriak. Namun ia tetap langsung bisa menguasai dirinya. Perasaannya berkecamuk hebat mendengar kabar itu. Namun sekuat apapun Anti, tetap saja ia seorang perempuan yang memiliki perasaan yang peka. Air matanya tak mampu ia bendung. Namun tetap saja ia tidak ingin memperlihatkan suasana hatinya saat itu.
Tidak ada jawaban dari mulut Anti mendengar kabar itu. Ia justru langsung mematikan handphonnya tanpa basa-basi lagi dan langsung berlari ke WC yang tidak jauh dari ruangannya. Cukup lama ia dalam WC. Di tempat inilah ia melepas perasaanya. Dibiarkannya tetesan air mata membasahi pipinya. Ingin rasanya ia berteriak histeris di dalam WC itu. Tapi itu urung dia lakukan. Ia hanya menghela nafas dalam-dalam, kemudian membasuh mukanya untuk menghilangkan jejak bahwa ia baru saja menangis.
Sejurus kemudian ia sudah berada kembali di kursinya, berhadapan dengan kumputer. Tapi kali ini, tak ada yang bisa ia perbuat kecuali melamun. Memikirkan kabar yang baru saja ia terima. Lama termangu seperti itu, Anti mulai khawatir, teman-teman kantornya akan banyak bertanya macam-macam jika melihat dirinya terus melamun. Berpikir sejenak, Anti akhirnya menemukan jalan keluar.
“Ida, saya istirahat duluan yah, lagi kurang fit. Kepalaku agak sakit ini. Kalau ada yang cari Tanya pulang istirahat,”pesan Anti kepada temannya, Ida.
“Iya, silahkan. Semoga cepat baikan,”jawab Ida, temannya.
Mendengar jawaban temannya itu, Anti kemudian bergegas meninggalkan ruangannya dan terus kembali ke rumahnya. Sesampai di rumah ia langsung menghembaskan tubuhnya di atas pembaringan. Mukanya dibenamkan ke bantal sambil menangis sejadi-jadinya.
“Uaaaaahhhhhhhh,”teriak Anti, namun suaranya tidak sampai menggema keluar rumah sebab sudah diantisipasi dengan bantal yang sejak tadi menutupi seluruh wajahnya.
“Tuhan apa salahku, kenapa cobaanmu begitu berat. Kuatkan Aku menghadapinya ya Rabb,”doa Anti dalam kepedihan hatinya.


Hari itu, sebenarnya Anti sudah genap seminggu ditinggalkan suaminya. Artinya saat kabar yang menyakitkan itu datang, adalah saat ia sedang dalam penantian, menanti sang suami datang, melepas rasa sepi yang sudah ia pendam selama seminggu itu. Namun bukan sang suami yang datang, tapi justru kabar buruk yang tiba meluluhlantakkan perasaanya.
Pikiran Anti terus menerawang. Posisi badannya terus berganti, tak ubahnya sedang berguling-guling di atas ranjangnya. Pikirannya seolah tidak berfungsi saat itu. Hanya hayalannya yang seolah hendak menemui suaminya yang saat itu tidak ia ketahui posisi pastinya. Anti hanya mengetahui bahwa suaminya sedang keluar kota untuk urusan bisnis.
Setelah merasa sedikit tenang, Anti perlahan mengeluarkan handphone miliknya. Dengan perlahan pula, dicarinya nomor handphone milik suaminya yang tersimpan dalam memori handphonnya. Selang beberapa saat, ia pun terhubung dengan suaminya.
“halo pa,”sapa Anti dengan suara yang berusaha dibuat tegar. Anti berupaya bersuara seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.
“Yah..halo juga ma…apa kabar,”jawab suaminya.
“Baik pa..saya Cuma mau tanya kabar papa disana. Kapan balik pa ? saya sudah kangen, sudah seminggu papa tidak pulang,”Tanya Anti bertubi-tubi.
“Mudah-mudahan urusan bisnis disini cepat selesai, insya Allah dua tiga hari ini papa pulang. Sabar yah ma..,”sahut suami Anti lagi.
“Jangan nakal di kampung orang yah pa… atau jangan-jangan papa ada simpanan disitu?,”Tanya Anti dengan nada bercanda. Saat mengutarakan ucapan itu, sebenarnya perasaan Anti berkecamuk. Ia takut tidak bisa mengendalikan diri sehingga membuat suaminya curiga atau malah tersinggung.
“ah mama ada-ada saja..tidak mungkinlah, saya kesini demi mama. Tidak mungkin saya berbuat macam-macam,”jawab suaminya meyakinkan.
“Janji yah pa…awas kalau macam-macam,”
“Iya ma, janji,”
“ingat cepat pulang klo urusan sudah selesai,”pinta Anti penuh harap.
Suasana hati Anti sedikit lega setelah berbicara dengan suaminya. Apalagi suaminya tetap menjawab telponnya dengan nada penuh kasih sayang. Namun tetap saja, kabar dari keluarganya itu menghantui perasaannya. Namun ia juga tidak mau gegabah menanyakan kepada suaminya. Takut justru memperburuk suasana. Anti memilih memendam perasaan hatinya dan tetap menunggu sampai suaminya kembali.
Tiga hari berlalu sejak Anti menelpon suaminya. Itu berarti sesuai janji suaminya, hari itu ia akan kembali ke rumahnya. Kembali ke sisi Anti yang sudah sepekan lebih terus menanti kedatangannya. Menanti kedatangan suaminya, Anti dihantui kecemasan. Ia cemas harus bersikap seperti apa menghadapi suaminya. Ia juga cemas memikirkan jalan terbaik untuk menanyakan langsung soal kabar suaminya yang sedang menjalin hubungan dengan wanita lain di kota tujuan bisnisnya selama ini.
Seperti biasa, Anti tetap bekerja dengan tekun di Kantornya. Hanya matanya yang sesekali melirik ke handphone yang sengaja ia letakkan dekat komputernya. Setiap kali melirik handphone tersebut ada harapan tergambar dari wajahnya. Harapan handphonenya berdering. Hari itu Anti memang sedang menunggu telpon suaminya. Apakah ia jadi pulang atau tidak. Dan jika betul ia pulang hari itu, jam berapa tiba di rumah. Pertanyaan itu memenuhi benaknya.
Namun hingga jam kantor selesai, telpon yang di tunggu tidak juga datang. Memang beberapa kali handphonenya berdering selama jam kantor. Namun yang menelpon bukan sang suami,melainkan teman dan keluarganya.
Setelah selesai apel pulang, Anti langsung kembali ke rumah, langkahnya lunglai tak bersemangat. Sesampai di rumahnya, ia langsung menghempaskan tubuhnya di kursi tamu. Rasa kecewa mulai menyerangnya.
Ditariknya lagi handphone dari balik kantong bajunya. Perlahan ia mulai memanggil ke nomor suaminya.
“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan,”lagi-lagi suara itu yang ia dengar dari handphonenya. Suara yang sama ketika saat di kantor tadi ia juga berupaya menghubungi nomor tersebut.
Tidak ada yang bisa ia perbuat sepulang kantor. Jika biasanya ia langsung sibuk di dapur untuk persiapan makan malam. Sore itu Anti, hanya duduk lemas. Tidak ada yang bisa ia perbuat kecuali sesekali menghela nafas keras-keras.
*****

Malam makin larut. Tapi mata Anti tak bisa terpejam. Padahal semua lampu telah ia matikan. Jarum jam saat itu sudah menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat. Anti belum juga bisa lelap dalam tidur. Pikirannya masih terus menerawang.
Ketidak jelasan keberadaan suaminya saat itu, membuat ia semakin bimbang. Perasaannya galau sejak siang tadi. Ia mulai berpikir bahwa kabar burung tentang suaminya, nampaknya betul. Kecurigaannya berasalan, sebab baru kali ini suaminya sangat sulit di hubungi, ini kali pertama pula suaminya tidak pulang tepat waktu.
“Mungkinkah apa yang dikabarkan orang tentang suamiku betul? Oh Tuhan berat rasanya ku jalani hidup ini,”pikirnya. Keyakinan Anti tentang kabar itu semakin besar dengan tingkah suaminya yang sulit di hubungi itu. Meski awalnya ia tetap kurang yakin.
Keesokan Anti tetap bangun amat pagi seperti biasa. Di kantor, Anti juga tetap bekerja seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang menghadapi masalah rumit yang ditunjukkan pada teman kerjanya.
Tiga hari berlalu, belum juga ada kabar tentang suaminya. Menelpon tidak. Di telpon juga tidak pernah tembus. Namun saat sedang asyik bekerja di hari ke tiga suaminya menghilang, tiba-tiba handphonenya berdering. Tidak ada nama yang muncul dari nomor yang memanggil tersebut, menandakan bahwa itu nomor baru. Perlahan Anti menjawab panggilan tersebut.
“halo, dengan siapa,”ujar Anti menyapa lebih dulu.
“saya ma.., saya pinjam Handphone teman. Handphone saya hilang,”sahut suara tersebut.
“ohh papa… dimana sekarang..kenapa belum pulang tidak kasih kabar lagi,”tanya Anti bertubi-tubi.
“maaf ma… urusan bisnis belum selesai, ada masalah sedikit saya upayakan pulang cepat, yang penting urusan sudah selesai,”jawab suaminya.
“iya tapi kapan kepastiannya? Katanya dua tiga hari..sekarang berapa hari lagi,”lanjut Anti mulai menunjukkan rasa kesal.
“Secepatnya lah ma…dua tiga hari lah…sabar saja yah ma…,”jawab suaminya enteng.
“Hmmm itu lagi….saya hanya berharap papa pulang cepat, saya sudah capek menunggu terus,”kata Anti lagi.
“oke… saya upayakan ma…,”janjinya lagi.
“trus kalau mau dihubungi lewat apa? Handphone papa kan hilang,”Tanya Anti.
“nanti saya yang hubungi, rencana saya baru mau beli handphone dan kartu baru lagi,”jawab suaminya lagi.
“Oke saya tunggu,”tutup Anti yang langsung mematikan handphonenya.
Sejak pembicaraan dengan suaminya itu, Anti tidak pusing lagi untuk menghubungi suaminya. Ia mulai pasrah. Ia sudah mulai curiga bahwa suaminya saat ini tidak seperti yang dulu lagi. Ia menilai suaminya sudah bohong kepadanya. Ia sendiri belum yakin bahwa suaminya akan kembali pada hari yang ia janjikan itu.


Hari terus berlalu, Anti masih terus menanti kedatangan suaminya. Namun sejak berbicara dengan suaminya via telpon dua hari lalu, Anti belum pernah lagi dihubungi suaminya. Hingga hari ketiga saat ia masih dalam penantian. Menanti kedatangan sang suami yang sudah sangat ia rindukan. Lagi-lagi handphonenya bordering disaat ia sedang sibuk membuat laporan kantor.
“Selamat Pagi,”sapa suara dari balik telpon seluler.
“Selamat pagi juga,”jawab Anti.
“Ini dengan Ibu Anti?,”
“benar, ini dengan siapa,”
“Tidak penting Ibu tahu siapa saya. Saya hanya mau sampaikan ke Ibu bahwa saat ini suami ibu di tahan Polisi,”
“hah dimana? Terus kenapa di tahan? Tanya Anti tak bisa menguasai dirinya.
Sekujur tubuh Anti bergetar saat mendengar kabar itu. Aliran darahnya terasa terhenti. Jantungnya berdegub begitu cepat. Hampir saja ia ambruk seandainya tidak berupaya menguasai dirinya.
“Ibu jangan khawatir. Tidak perlu panik. Suami ibu ditahan karena kedapatan membawa narkoba. Kalau mau ketemua suami Ibu, datang saja ke Kantor Polres Cipiring,”ujar suara tadi.
Jawaban itu betul-betul menjadi pukulan bagi Anti. Betapa tidak suami yang saat ini sedang ia nanti-nantikan, justru kabar buruk yang datang. Kabar kali ini nampaknya tidak bisa lagi ia bendung. Ia lalu membenamkan wajahnya di meja kerjanya sambil meneteskan air mata. Namun tetap saja, ia tak ingin teman kerjanya melihat dia menangis.
Saat itu Anti merasakan tulang-tulang bagai remuk. Ia bagaikan sedang ditindih batu besar yang bernafas saja ia tak kuasa. Perlahan Anti meraih tissue di mejanya untuk mengeringkan air mata yang tiada hentinya mengalir dari kelopak matanya. Setelah agak kering ia pun mengangkat wajahnya.
“Saya lagi kurang fit, kepala saya sakit. Saya pulang isttirahat dulu. Kalau bapak cari Tanya saya lagi sakit,”ucap Anti kepada temannya Ida, yang kebetulan ada di ruangan itu. Usai pamit tanpa berlama-lama Anti langsung bergegas meninggalkan ruang kerjanya, langsung kembali ke rumahnya.
Se tiba di rumah, Anti langsung menangis sejadi-jadinya. Segala kesedihan hatinya di tumpahkan di atas pembaringan. Setelah melampiaskan kesedihannya. Ia pun menghubungi kerabat suaminya. Hari itu juga Anti bersama seorang kerabat suaminya berangkat ke Polres Cipiring. Sebuah kota yang berjarak sekitar 65 kilometer dari kota tempat tinggal Anti. Anti sendiri tidak habis pikir, suaminya bisa sampai di Cipiring padahal setahunya suaminya lagi berada di Provinsi Seberang.
Setelah beberapa jam diperjalanan, sampailah Anti dan kerabat suaminya di Polres Cipiring. Oleh petugas jaga, Anti diarahkan ke sebuah ruang tahanan yang berada dibagian belakang kantor. Dari jarak sekitar 7 meter, Anti sudah melihat suaminya sedang duduk dengan kaki dilipat dan lutut menghadap ke atas. Wajahnya dibenamkan di atas lututnya. Anti langsung berlari kearah sel dan berdiri tepat di depan jeruji besi.
“paaaaa…..,”teriak Anti.
Suaminya yang mendengar suara itu kaget. Ia tidak menyangka istrinya akan tiba di Cipiring secepat itu. Tidak ada jawaban dari suaminya. Bahkan suami Anti terlihat tiak berani menatap istrinya.
“Paaaa…kenapa bisa begini?,”teriak Anti lagi.
Yang kedua kalinya, suami Anti tetap tidak memberi jawaban. Bahkan ia tidak bergeming dari tempat duduknya. Ada rasa malu yang suami Anti rasakan saat itu. Ia mulai memikirkan bagaimana sikapnya selama ini kepada istrinya hingga akhirnya ia masuk bui.
Setelah minta izin ke petugas jaga, akhirnya Anti diberikan kesempatan berbicara dengan suaminya.
“Maafkan saya ma…selama ini saya telah banyak bersalah sama mama. Saya telah banyak membohongi mama bahkan saya telah berbuat di luar batas. Sehingga saya sampai ke tempat ini,”ungkap suami Anti penuh penyeselan.
Dalam perbincangan itu, suami Anti akhirnya berterus terang tentang tingkahnya selama ini. Tentang kebiasaan buruk yang mebuat ia di tangkap aparat kepolisian, hingga pengakuannya tentang kecurigaan keluarga Anti yang mendapatinya sering bersama perempuan. Semua itu di akui suami Anti.
“Saya ini laki-laki kotor, mungkin saya tidak pantas lagi mendampingi mama….saya siap dengan segala hukuman yang polisi berikan ke saya termasuk hukuman yang mama akan berikan ke saya dengan segala perbuatan saya. Saya pasrah. Saya salah, maafkan saya ma, dan berikanlah hukuman apa pun yang mama mau, termasuk meninggalkan saya jika memang mama sudah tidak sudi bersuamikan orang kayak saya,”ujar suami Anti mengakui segala kesalahannya.
“Sudahlah pa. Yang penting sekarang kita fokus pada kasus yang bapak alami. Soal yang lain itu belakangan. Yang penting sekarang bapak sudah mau jujur dan bertekad mau mengubah sikap,”jawab Anti cukup bijaksana.
“Ia ma,”sahut suaminya malu-malu.
Setelah melalui proses pengadilan. Akhirnya suami anti dijatuhi hukuman kurungan selama 1 tahun 5 bulan. Selama proses pengadilan, Anti tetap setia mendampingi suaminya. Bahkan segala biaya-biaya perkara yang dikeluarkan di tanggung oleh Anti. Ini membuat suaminya makin serba salah.
“Terima kasih ma atas dukungannya, saya janji setelah masa hukuman ini selesai saya akan jadi suami yang baik. Saya tidak akan berbuat hal-hal buruk lagi,”janji suami Anti usai sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Cipiring.
Penantian demi penantian terus menghampiri Anti. Setelah menanti suaminya yang biasanya hanya pergi dalam waktu singkat, Vonis terhadap suaminya makin memperpanjang waktu penantian Anti.
“Suami, momongan…ohhhh…kenapa harus semua dalam penantian,”gumam Anti.

Tamat

NB : Cerita Ini Hanya ilusi Pengarang belaka. Jika ada nama, atau kesamaan kisah dalam cerita ini, itu hanya kebetulan belaka. Terima Kasih.

Rabu, 09 November 2011

Mungkinkah Kau, Akan Bersamaku Selamanya ?

Sajak Buat AE
Karya : Hamsah


Ini tahun ke tiga Sejak bunga cinta mekar di antara kita
Ini tahun ketiga kita melewatkan malam dan siang bersama
Ini tahun ke tiga kita membangun sebuah harapan bersama
Namun di tahun ke tiga ini pula semuanya goyah, bak hendak sirna

Gundah gulana menyerang tak kenal waktu
Menghampiriku disaat siang
Menggangguku di saat malam
Hingga mata tak kuasa terpejam

Nestapa hati datang bertubi-tubi
Angin semilir mengantar kabar tentangmu di suatu waktu
Menyisakan goresan luka dilubuk hati ini
Hingga air mata terus megalir dari ke dua kelopak mata ini

Ku kuatkan hatiku menahan rasa sesak di dada kala itu
Hingga angin semilir justru berubah jadi badai
Badai yang mengabarkan tentang dirimu yang terhempas ke lembah kelam
Sebuah lembah yang aku sangat takut meski hanya membayangkannya

Sukar melukiskan rasa di hatiku saat ini
Pasrah, hanya itu yang bisa kuperbuat
Disaat semua jalan terasa buntu
Di saat bahagia seolah semakin jauh

Aku dihampiri rasa tidak yakin
Mungkinkah kau, Akan Tetap bersamaku Selamanya?
Setelah semua badai berlalu
Ataukah badai hanya akan terus berganti badai
Hingga sang waktu yang memberikan jawaban


Tapi tetap aku akan berada disampingmu
Hingga badai berlalu
Hingga Tuhan menentukan jalan terbaik bagi ku
Dan juga bagi dirimu

Minggu, 23 Oktober 2011

Sisakan Saja Neraka Untuk Ku

Karya : Hamsah

Mungkin Aku tak cukup baik dipandang mata
Karena aku hidup di lorong-lorong malam
Memandang dengan mata jalang
Yang tiap saat siap untuk sebuah kepuasan

Mungkin Aku akan di cela sepanjang waktu
Karena separuh hariku hilang ditelan minuman keras
Terkubur disudut bar dan dipojok gulita
Hanya untuk selembar rupiah



Di matamu mungkin aku tidak mengenal iman
Di matamu mungkin aku tak memiliki harga
Di matamu aku kerap menjadi contoh buruk
Menjadi najis yang dilirik pun sudah haram

Aku jadi terhina di atas mimbar-mimbar dakwah
Di forum-forum religi
Aku jadi makhluk yang tak diharapkan Lahir Ke dunia
Dan karena aku, dunia dianggap kotor dan sering kena bencana

Tapi muliakah mereka yang menghinaku di atas mimbar
Terhormatkah mereka yang membiarkanku dalam kelaparan
Terpujikah mereka yang tak mengajariku kebaikan dan kesalehan
Yang hanya menghina dan merendahkanku



Apakah surga memang tak layak bagiku?
Tidak adakah cahaya Tuhan bagi ku yang juga tak jarang menengadah
Tidak adakah jalan bagi ku untuk belajar kesalehan dan kebaikan
Ataukah memang surga itu hanya milik mereka yang gencar merendahkan ku di atas mimbar


Yah mungkin saja neraka itu memang sudah menjadi milik ku
di dunia, dan pada kehidupan mendatang
tapi Aku tak peduli lagi soal surga dan neraka

Biarlah surga menjadi milikmu
Asalkan kebaikan tidak tertutup Untuk ku
Asalkan jalan keberkarahan Tuhan tetap terbuka
Asalkan Aku jauh dari rasa lapar

Biarlah surga menjadi milikmu
Asalkan kepadaku bukan sekedar kutukan
Asalkan Tuhan tidak menjauh dari ku
Saat aku harus mengisi perut dengan lembaran rupiah dari jalan yang kamu rajam

Sisakan lah neraka itu bagi ku
Sebab aku sadar engkau tidak akan dapat surga tanpaku
Dan engkau tak akan jadi mulia tanpa aku yang terhina

Silahkan nikmati surgamu
Asal Tuhan tetap tahu hati ini tetap untuk Nya
Asalkan Tuhan tetap tahu bagaimana derita dan jeritan hati ku
Asalkan Tuhan tidak mematikan cahaya Nya dalam hati ini


Biarlah neraka engkau sisakan untuk ku
Asal Tuhan tetap bersamaku
Mendengar hasrat hatiku
Memahami jeritan jiwaku
Dan mencatat setiap doa-doaku

Minggu, 02 Oktober 2011

Kisah Cinta Sang Ustaz


Karya : Hamsah

Suasana sore cukup tenang, perlahan kendaraan roda dua yang dikendarai ustaz Syahel mengarah pada sebuah rumah yang tidak lain adalah rumah milik atasannya di kantor. Ustaz Syah panggilan akrabnya. Ia sendiri merupakan seorang staf di sebuah instansi di daerah yang terkenal subur dan luas areal pertaniannya.
Tidak terasa Syah pun tiba di halaman rumah atasannya. Ini kali pertama Syah mendatangi rumah ini. Selama ini segala keperluan dengan atasan hanya terjadi di kantor. Entah kenapa hari ini tiba-tiba dia memanggil Syah ke rumahnya.
Atasan Syah sendiri selain dikenal dengan jabatannya di kantor, ia juga dikenal sebagai seorang alim ulama yang oleh masyarakat setempat lebih lumrah disebut sebagai ustaz. Meski kata ustaz itu sebenarnya lebih umum ditujukan pada seorang guru atau yang berprofesi sebagai pengajar, namun masyarakat setempat lebih umum mengalamatkan panggilan ustaz itu untuk pemuka agama.
Di kantor, Syahel dan atasannya ini sangat dikenal sebagai ustaz. Mereka berdua hampir tidak pernah alpa jadwal khutbah di sejumlah Mesjid yang ada di daerah itu. Bahkan untuk acara-acara keagamaan pemerintah, ke dua orang inilah yang memegang andil paling besar.
Bahkan jadwal ceramah mereka juga padat hingga ke luar kabupaten. Ustaz Syah memang sejak kecil ditempa dengan ilmu agama. Sejak lulus SD ia disekolahkan oleh ke dua orang tuanya di pesantren. Selama enam tahun ia mengenyam ilmu agama di pesantren dan kemudian setelah lulus Madrasah Aliyah setingkat SMA, Syah lagi-lagi melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Agama yang ada di Ibu Kota Provinsi.


Kuliah di Perguruan tinggi Islam, membuat ilmu agama yang ia miliki semakin matang. Di tambah Ustaz Syah memiliki suara yang cukup bagus ketika melantunkan ayat suci Al Quran. Ini menjadi daya dukung dan menjadi keunggulan tersendiri bagi Ustaz Syah sehingga ia pun cukup sering menjadi imam setiap shalat berjamaah.
Tidak berapa lama, Ustaz Syah akhirnya tiba di halaman rumah yang terbilang elit di kawasan itu. Suasana di halaman terlihat sepi. Tidak ada orang yang lalu lalang. Sementara pintu rumah tertutup rapat. Seandainya bukan karena perintah atasannya, Ustaz Syah mungkin akan berbalik meninggalkan rumah tersebut. Namun akhirnya dengan berupaya memberanikan diri, Ustaz Syah akhirnya berupaya mengetuk pintu.
“Assalamu Alaikum,”ujar Ustaz Syah dari luar rumah.
“Wa alaikumussalam,”sahut sebuah suara yang masih sangat asing terdengar di telinga Ustaz muda ini. Sebuah suara perempuan yang kontan membuat Ustaz Syah merasa ada yang aneh dalam dirinya ketika mendengar suara itu.
“Siapa?,”lanjut suara tadi, masih dari balik pintu yang belum dibukanya.
“S..Saya, Syah,”balas Ustaz Syah terbata-bata karena gugup.
Semenit kemudian pintu rumah terbuka, dari dalam muncul seorang gadis dengan pakaian muslimah. Gadis itu kemudian melayangkan senyum kearah Ustas Syah yang sejak tadi berupaya menenangkan dirinya dari rasa gugup.
“Mari, silahkan masuk,”sambut gadis tadi mempersilahkan Ustaz Syah masuk. Ustaz Syah sendiri langsung menundukkan pandangannya saat gadis tadi menatapnya dari pintu yang sudah terbuka lebar.
Dipersilahkan masuk, Ustaz Syah kemudian melangkah pelan-pelan masuk ke rumah yang tidak lain adalah rumah pribadi atasannya itu. Sebelum melangkah Ustaz Syah menyempatkan diri menatap gadis yang mempersilahkannya masuk. Saat bertemu pandang, Ustaz Syah tiba-tiba nyaris tak mampu menguasai kegugupannya. Sekujur tubuhnya terasa dialiri hawa dingin. Tidak terasa keringat mulai mengaliri tubuhnya.
“T…Terima Kasih,”sahut Ustaz Syah masih dengan rasa gugupnya sambil berlalu menuju kursi tamu yang berada tidak jauh dari pintu utama rumah tersebut. Sambil duduk, Ustaz Syah tetap menunduk. Ia seolah tidak habis pikir dengan apa yang dia alami saat itu. Sebagai seorang ustaz yang selama ini sudah sangat berpengalaman berdiri dihadapan ratusan bahkan ribuan orang, rasa gugup apalagi berkeringat dingin sudah tidak pernah ia alami. Bahkan sebagai seorang Da’i yang sudah melanglang buana, makin banyak orang yang hadir saat ia berceramah, semangatnya untuk berceramah justru semakin tinggi.
Tapi entah kenapa hari itu, saat dia hanya berhadapan dengan seorang gadis yang usianya juga masih belasan tahun, tiba-tiba rasa gugup dan perasaan batinnya tidak karuan. Perasaan itu hanya ia rasakan saat ia baru pertama kali belajar berdiri di depan orang banyak. Itupun terjadi saat ia masih menjadi seorang santri beberapa tahun yang lalu. Perasaan itulah yang ia rasakan saat ini, bahkan lebih dari itu.
“Saya kenapa yah?,”ungkap Ustaz Syah dalam hati. Pria yang memang masih lajang ini heran dengan apa yang ia alami saat itu. Ia pun berupaya menguasai perasaanya. Ia tidak ingin atasannya mendapatinya dalam kondisi yang tidak stabil seperti itu. Perlahan ia menarik nafas panjang, sejumlah ayat-ayat Al Quran dan doa-doa yang selama ini ia lafazkan sebelum naik ke mimbar ia bacakan dalam hati secara cermat. Hasilnya, Usataz Syah akhirnya mampu menguasai perasaannya sehingga ia pun merasa normal kembali.


Beberapa saat kemudian, atasannya pun keluar dari dalam ruang keluarga, menghampirinya yang sudah beberapa menit menunggu di ruang tamu. Setelah duduk, atasan Ustaz Syah akhirnya membuka pembicaraan. Cukup banyak yang mereka bicarakan termasuk masalah pekerjaan kantor dan hal lain berkaitan dengan kegiatan mesjid. Kebetulan mereka berdua memang memiliki latar belakang yang sama dan sama-sama aktif menggiatkan kegiatan majelis taklim di mesjid-mesjid yang ada di daerah itu.
Ustaz Syah sendiri dipanggil ke rumah atasannya untuk memantapkan kegiatan Musabaqah Tilwatil Qur’an yang kebetulan kantor mereka sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan itu. Kebetulan untuk urusan seperti itu, Ustaz Syah tidak diragukan kemampuannya dalam mengurus kegiatan yang memang sejak masuk pesantren sudah ia lalui.
Setelah selesai membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan yang akan mereka laksanakan itu, tiba-tiba Ustaz Syah ditanya oleh atasannya. “Syah, usia kamu sekarang sudah berapa,”Tanya atasannya.
“32 tahun ustaz,”jawab Ustaz Syah tersipu.
“Kok belum menikah,”tanyanya lagi.
“Belum ada jodoh ustaz, Insya Allah saya tetap bermunajab supaya Allah memberikan jodoh yang terbaik untuk saya,”jawab Ustaz Syah lagi.
“Amin, jika punya kendala jangan sungkan-sungkan minta bantuan saya,”lanjut atasan Ustaz Syah.
“Insya Allah Ustaz,”sambut Ustaz Syah.
Tanpa terasa, perbincangan mereka sudah berlalu beberapa jam. Suara mengaji dari mesjid terdekat menyadarkan ke dua ustaz yang terikat ikatan kerja sebagai atasan dan bawahan ini. Mendengar suara mengaji dari mesjid dengan buru-buru Ustaz Syah akhirnya pamit ke atasannya.
“Sudah hampir Maghrib ustaz, saya pamit dulu,”.
“Yah silahkan,”jawab atasan ustaz Syah yang seolah sudah sangat mengerti jika pada jam-jam seperti itu, seorang ustas tidak bisa ditahan berlama-lama. Lagi pula ia juga demikian. Setelah mendengar suara mengaji dari mesjid, ia pun harus bergegas ke Mesjid.
Seperti biasanya, Ustaz Syah selalu didaulad menjadi imam di mesjid yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Rumah Ustaz Syah sendiri berada dikawasan perumahan yang rata-rata dihuni oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).


Keesokan harinya, Ustaz Syah menjalani hari-hari seperti biasanya, masuk kantor. Tidak ada yang berubah kecuali suasana hatinya yang diliputi rasa penasaran. Ia penasaran dengan gadis yang ia lihat di rumah atasannya. Menanyakan langsung ke atasannya tentu saja tidak mungkin ia lakukan. Secara diam-diam Ustaz Syah berupaya mecari tahu tentang gadis itu, mulai menyelidiki langsung saat datang ke rumah atasannya maupun menanyakan ke orang-orang yang ia anggap mengetahui banyak hal tentang gadis tersebut.
Setelah lama mencari tahu, akhirnya ia pun sudah mengetahui bahwa gadis tersebut adalah anak atasannya yang masih duduk di bangku kelas I SMA. Sejak mengtahui seluk beluk gadis itu, tekad Ustaz Syah bukannya kendor, malah ia semakin matang untuk menjadikan gadis itu sebagai pendamping hidupnya. Entah kenapa ia begitu yakin gadis itu akan menjadi jodohnya kelak, padahal perasaan hatinya belum ada yang mengetahui kecuali dirinya sendiri.
“Saya akan menunggu gadis ini hingga tamat SMA,”gumamnya dalam hati. Meski usianya saat itu sudah usia matang untuk beristri, ada saja keyakinan kuat dalam dirinya bahwa gadis yang telah menggetarkan hatinya dipandangan pertama di rumah atasannya itu adalah jodohnya.
Selama berbulan-bulan bahkan tahunan, perasaan hati Ustaz Syah dipendam dalam-dalam. Hanya doa yang senantiasa ia panjatkan dalam setiap shalatnya. Sambil sesekali juga berupaya menjalin dialog dengan gadis tersebut setiap ia berkunjung ke rumah atasannya. Meski dialog hanya sekedarnya, namun itu ia anggap sudah menjadi spirit bagi Ustaz muda ini untuk membulatkan tekadnya menjadikan anak atasannya itu sebagai istri.
Hingga pada suatu waktu, Ustas Syah mengikuti sebuah kegiatan bersama atasannya di luar daerah. Dia dan atasannya tidur sekamar di sebuah hotel tempat kegiatan itu berlangsung. Saat sedang istirahat siang, tiba-tiba atasannya kembali menanyakan masalah pernikahan dengan Ustaz Syah. Kali ini atasannya nampaknya lebih serius dari biasanya.
“Nikah itu sunnatullah dan bahkan diwajibkan bagi yang sudah memenuhi syarat untuk melakukannya, Tuhan tidak menyukai orang-orang yang menunda kebaikan, saya pikir soal ini kamu pasti lebih tahu,”jelas atasannya mengingatkan.
Diperingatkan seperti itu, Ustaz Syah hanya tersenyum. Tapi ia juga tertegun, sebab hari itu ia melihat muka serius dari atasannya saat mengucapkan kata-kata itu. Meski kata itu diucapkan sambil berlalu, namun Ustaz Syah menangkap bahwa apa yang disampaikan atasannya itu cukup serius.
Setelah seharian penuh mengikuti kegiatan, keduanya kemudian kembali ke kamar hotel untuk istirahat malam. Kedua atasan dan bawahan ini tidak langsung tidur, ke duanya meluangkan waktu menonton TV sambil berbincang-bincang.
Saat berbicang itu, atasan Ustaz Syah kembali melanjutkan pembicaraan yang ia lontarkan pada saat istirahat siang tadi.
“Kamu sudah ada calon kan?,”tanya atasannya yang hanya dibalas senyum oleh ustaz Syah.
“Kalau belum ada jangan sungkan minta tolong dicarikan, atau ada yang kamu suka kita juga bisa bantu untuk menyampaikannya,”lanjut atasannya.
Kali ini Ustaz Syah tidak bisa mengelak. Namun pertanyaan itu tidak langsung ia jawab. Ia terdiam sejenak. Kemudian dengan malu-malu ia menjawab.
“Sebenarnya keinginan itu sudah ada, soal calon juga sudah ada, tapi saya belum siap untuk mengatakannya. Saya akan mengatakannya setelah saya dari menjalankan ibadah haji. Saya akan memohon petunjuk disana,”jawab Ustaz Syah panjang lebar. UStaz Syah memang pada tahun itu akan menjalankan ibadah haji.
“Nah begitu, mudah-mudahan kamu dapat petunjuk saat menjalankan ibadah haji nantinya,”tandas atasan Ustaz Syah. Jawaban ustaz Syah itu nampaknya membuat atasannya tidak bisa lagi bertanya banyak. Seolah jawaban tadi menjadi kunci dari pertanyaan yang ada dibenaknya.
***

Beberapa bulan setelah perbincangan serius antara UstazSyah dengan atasannya, musim haji pun tiba. Dan Ustaz Syah adalah salah satu dari jemaah haji dari daerahnya. Saat menjalankan ibadah haji, Ustaz Syah betul-betul menjalankan niatnya memohon petunjuk tentang jodohnya. Dalam doanya ia berharap diberikan petunjuk jika perempuan yang ia sukai itu adalah jodohnya, agar ia diberikan kekuatan mental untuk menyampaikan ke orang tuanya setelah kembali dari menjalankan ibadah haji itu.
Sekembali dari menjalankan ibadah haji, Ustaz Syah menjalankan aktivitas seperti biasanya. Namun ia heran selama beberapa bulan setelah kembali dari menjalankan ibadah haji, atasannya tidak lagi menanyakan soal keinginannya untuk menikah. Padahal hasratnya untuk mengatakan itu sudah kuat ke atasannya. Apalagi saat itu, perempuan yang nota bene adalah anak atasannya itu sudah duduk dibangku kelas tiga SMA yang tidak lama lagi akan tamat.
Berbagai upaya dilakukan oleh Ustaz Syah untuk menyampaikan keinginannya itu. Mulai menggunakan pihak ketiga sampai berupaya langsung menyampaikannya ke atasannya, namun itu tidak kesampaian.
Tiba pada suatu pagi, Ustaz Syah sengaja ke kantor lebih awal dari biasanya. Itu dengan harapan bisa bertemu berdua dengan atasannya untuk menyampaikan maksud hatinya. Wal hasil atasannya justru lebih awal tiba di kantor. Melihat atasannya sudah ada di kantor, Ustaz Syah terlihat girang. Ia seolah dapat angin segar. Dalam hatinya ia berdoa dan berterima kasih kepada Tuhan yang ia anggap berpihak padanya hari itu. Namun saat hendak masuk ke ruangan atasannya, masalah kembali muncul. Mendadak sekujur tubuhnya terserang hawa dingin. Ia seolah menggigil. Berkali-kali ia mondar-mandir di luar ruangan dan mengambil ancang-ancang untuk masuk ruangan atasannya, tapi nyalinya terasa hilang.
“Syah, masuk ke sini dulu,”panggil atasannya dari dalam ruangan. Panggilan itu langsung membuyarkan konsentrasi UStaz Syah.
“Ia pak,”jawab Syah yang langsung bergegas masuk ruangan atasannya. Di dalam ruangan ia langsung disodorkan secarik kertas. Oleh atasannya ia diperintahkan untuk mengisi data yang diminta dalam kertas itu. Saat menulis itu, tangan Ustaz Syah tiba-tiba gematar. Ia sendiri heran, kenapa tangannya tiba-tiba gemeter seperti itu.
Usai mengisi kertas yang disodorkan atasannya, sejenak Ustaz Syah berpikir untuk menyampaikan keinginannya. Namun lagi-lagi, ia tak mampu menguasai suasana hatinya yang galau. Setelah berpikir sejenak ia pun mengambil secarik kertas kemudian menulis pesan di atas kertas itu. “Pak saya tunggu di Mushallah,”begitu tulisan dalam kertas itu.
Setelah menulis pesan di atas kertas itu, kertas bersisi pesan itu kemudian disodorkan ke atasannya kemudian Ustaz Syah langsung menyelinap ke luar ruangan langsung menuju Mushallah yang tidak jauh dari ruangannya. Di Mushallah, Ustaz Syah langsung menunaikan Shalat Duha. Namun setelah beberapa rakaat Shalat Duha ia laksanakan, atasannya belum juga muncul. Tapi Ustaz Syah tidak putus asa, ia tetap melanjutkan Shalatnya hingga rakaat ke delapan. Pada rakaat ke depan ini ia merasakan ada orang masuk di Mushallah itu.
Setalah rakaat ke depalan dia tuntaskan ia menoleh ke belakang. Betul, yang datang adalah atasannya yang juga langsung Shalat Duha tidak jauh dari tempatnya Shalat tadi. Setelah keduanya menyelesaikan Shalat Duha, Ustaz Syah tetap bungkam. Dia belum berani juga menyampaikan maksud hatinya. Sehingga hari itu berlalu tanpa apa-apa. Mereka kemudian keluar bersama-sama dari Mushallah, meski berbincang tapi perbincangan mereka jauh dari apa yang hendak diutarakan oleh Ustaz Syah.
Gagal menyampaikan isi hatinya di Mushallah, Ustaz Syah kembali memutar akal. Ia berusaha keras bagaimana bisa menyampaikan isi hatinya. Setelah berpikir lama, ia pun kenbali menemukan ide untuk mengundang atasannya makan siang di sebuah warung makan favorit di daerahnya.
Namun lagi-lagi langkah ini gagal. Atasannya tidak datang memenuhi panggilannya. Medapatkan jalan buntu, Ustaz Syah kembali mengadu ke Tuhan. Pada suatu malam, Ustaz Syah kembali menengadahkan tangan usai Shalat Tahajjud. Ia berharap ada petunjuk dan diberikan keberanian untuk mengutarakan keinginannya itu.

Keesokan harinya, kekuatan doa itu nampaknya sedikit membantu Ustaz Syah untuk menguasai suasana batinnya. Kebetulan pagi itu, atasannya yang masuk kantor lebih dulu. Meski tetap dengan rasa was-was ia menunggu atasannya itu masuk ke Mushallah untuk Sahalat Duha. Ternyata tidak terlalu lama ia menunggu, atasannya sudah terlihat berjalan kearah Mushallah. Dengan pelan-pelan Ustaz Syah ikut dari belakang dan ikut Shalat Duha bersama.
Kali ini Ustas Syah lebih berani dari hari biasa. Usai Shalat, dengan suara terbata-bata karena gugup Ustas Syah akhirnya menyampaikan keinginan hatinya.
“Ustaz, dulu kan pernah kita Tanya saya soal pernikahan. Kali ini saya ingin minta bantuan,”ungkap Ustaz Syah berbasa-basi.
“Oh yah…silahkan, apa yang bisa saya bantu,”jawab atasannya.
“Sss…Sebenarnya pak yang saya suka itu adalah…..,”kata Ustaz Syah Syah ragu-ragu.
“Ayo sampaikan saja, jangan takut,”ujar atasannya menyemangati.
“Anu pak… yang saya suka itu adalah…. Adalah anak bapak,”lanjut Ustaz Syah sambil tertunduk. Usai menyampaikan kalimat itu, Ustaz Syah tidak berani mengangkat mukanya menatap atasannya. Ada guncangan hebat terjadi dalam dirinya setelah menyampaikan kalimat itu. Seolah ia hendak segera berlalu dari hadapan atasannya seketika itu juga.
Namun dengan tenang, seolah sudah tahu sebelum Ustaz Syah menyampaikan maksudnya, atasannya menjawab perlahan. “Maksud kamu bagus, tapi saya belum bisa memberi jawaban. Karena anak saya itu masih sekolah. Sabar saja yah,”jawab atasannya yang kemudian langsung berdiri kembali ke ruangannya.
Jawaban yang keluar dari mulut atasannya itu membuat Ustaz Syah kembali cemas. Suasana galau kembali memenuhi suasana hatinya. Itu yang kemudian membuat dia berlama-lama duduk di Mushallah, entah apa yang ia pikir.
Ustaz Syah memang selama ini hanya memendam perasaan. Ia tidak seperti lelaki kebanyakan yang memilih menyatakan hasrat cintanya pada perempuan yang ia suka. Ustaz Syah justru lebih memilih menyatakan keinginannya pada orang tua perempuan yang ia suka, meski sama sekali ia belum menyampaikan rasa suka nya itu ke sang perempuan.


Usai pertemuannya dengan atasannya di Mushallah, Ustaz Syah masih menunggu jawaban pasti dari atasannya. Tapi sehari setelah pertemuan itu, belum juga ada jawaban. Meski dia sekantor dengan atasannya tetap saja jawaban itu tidak kunjung datang.
Ustaz Syah pun mulai khawatir. Akhirnya ia pun berkali-kali mengirimkan Short Message Service (SMS). Namun yang dikirim bukan berharap jawaban. Yang ia kirim terjemahan ayat dan hadis yang tentu saja ada kaitannya dengan pernikahan.
Berhari-hari Ustaz Syah mengirimkan SMS ke atasannya, namun jawabannya tidak kunjung ada. Hingga pada suatu malam, Ustaz Syah bangun Shalat Tahajjud. Usai Shalat Tahajjud ia pun kembali mengirimkan SMS ke atasannya. Ia sudah menduga jika pada waktu yang sama, atasannya juga bangun Shalat Tahajjud. Namun lagi-lagi yang di kirim lewat SMS itu adalah dalil-dalil agama.
“Silahkan datang dengan keluarga ke rumah. Tentukan saja kapan waktunya,”begitu bunyi tulisan balasan SMS dari atasan Ustaz Syah. Mendatapat balasan SMS seperti itu, di tengah malam yang lengang, di saat orang-orang terlelap dalam tidur, Ustaz Syah langsung Sujud Syukur.
Sejak menerima jawaban SMS itu, wajah Ustaz Syah berbinar. Ia langsung menghubungi kerabatnya untuk menjadwal proses lamaran ke rumah atasannya. Hari pelamaran itu pun tiba. Hari yang menjadi hari-hari pertama pancaran sinar kegembiraan mengisi relung hati Ustaz Syah.
Hari itu, perempuan idaman ustaz Syah yang bernama lengkap Husnul Khatimah diasingkan. Dia diasingkan ke ibu kota provinsi. Ia ditemani kakaknya untuk berbelanja. Oleh orang tuanya sang Pujaan hati Ustaz Syah di perintahkan ke Ibu Kota Provinsi itu dengan dalih belanja-belanja karena sudah hampir tamat SMA. “Hitung-hitung hiburan, kan sudah lama kamu tidak pernah ke kota jalan-jalan,”demikian alasan orang tua Husnul, nama panggilan akrab sang pujaan hati Ustaz Syah.

Mendapat perintah demikian, tentu saja Husnul gembira. Meski sempat curiga dengan perintah yang mendadak dan tidak biasanya itu, namun ia mencoba berpikir positif. Hari itu juga ia langsung berangkat ke Ibu Kota Provinsi bersama saudara lelakinya. Husnul dan saudaranya berpindah dari satu Mall ke Mall lain. Ia seolah ingin memanfaatkan hari itu untuk menghibur diri.
Namun saat sedang duduk-duduk disebuah restaurant salah satu Mall di Ibu Kota Provinsi, orang tuanya menelpon saudaranya laki-lakinya yang sedang duduk menikmati makanan di restaurant itu.
“Siapa yang nelpon,”Tanya Husnul kepada kakak laki-lakinya itu.
“Mama. Dia tanyakan keberadaan kita,”jawab kakaknya singkat.
Jawaban itu ternyata membuat Husnul makin penasaran. Ia seolah dapat firasat ada hal yang tidak beres dengan perintah liburan itu. Setelah berpikir sejenak, Husnul pun menghubungi salah satu kerabatnya yang juga adalah teman dekatnya di kampung. Kepada temannya itu, Husnul meminta agar segera ke rumahnya melihat apakah ada acara yang berlangsung di rumahnya. Kebetulan rumah teman dekatnya itu tidak jauh dari rumahnya.
“Saya lihat banyak orang di rumah kamu, memang ada acara apa?,”Tanya temannya dari balik Handphon.
“Coba kamu cari tahu acara apa itu, saya juga tidak tahu acara apa,”jawab Husnul, yang langsung dituruti oleh temannya.
“Kata tetangga disini acara lamaran, siapa yang dilamar yah?,”kembali temannya bertanya dengan lugu. Mendapat pertanyaan itu, bukan jawaban yang diperoleh, Husnul yang ditanya justru langsung mematikan Ponselnya dan langsung menangis seketika itu juga. Kakaknya yang saat itu ada didekatnya menenangkan.
“Husst jangan menangis. Disini banyak orang. Malu jadi pusat perhatian,”ujar kakaknya menasehati.
Sambil terisak, Husnul kemudian mengajak kakaknya meninggalkan tempat itu. Ia langsung minta agar segera pulang ke rumahnya yang jaraknya 200 kilometer lebih dari pusat kota itu. Meski sempat mengangis, namun Husnul tidak sampai meronta atau berbuat hal-hal yang bisa membahayakan dirinya.***



NB : Cerita ini hanyalah karangan dan ilusi Pengarang. Jika ada nama atau kisah dalam cerita ini yang sama atau mirip, itu hanya kebeteluan saja. Terima Kasih Wassalam.

Selasa, 12 Juli 2011

Nek Ineng Dan Gubuk Reotnya

Oleh : Hamsah

Suasana kota pada sore hari itu terlihat ramai, dibeberapa ruas jalan terlihat kerumunan muda-mudi, ada yang bercanda ada juga yang bermain. Di sebuah ruas jalan sekelompok lelaki sedang mengayuh sepeda mereka. Seragam yang mereka gunakan menunjukkan bahwa mereka sedang berolahraga sore. Tidak ketinggalan para ibu-ibu terlihat bersantai ria diteras rumah mereka.
‘Tik-tik-tik’ sebuah bunyi merdu keluar dari sebuah alat mungil yang dipegang seorang pengendara sepeda yang terlihat keluar dari satu lorong ke lorong yang lain. “Somay” tertiak seorang bocah yang langsung membuat pengendara sepeda terhenti. Sang bocah menyodorkan uang seribuan kemudian si pengendara menyerahkan tusukan beberapa pentolan somay. Usai memberikan setusuk somay pada bocah tadi, si pengendara sepeda langsung beranjak sambil membunyikan alat kecil di tangannya.


Sebagaimana lazimnya kota, meski tidak terdapat gedung pencakar langit, tapi hampir di semua sudut kota dihiasi bangunan mewah. Di pusat perkotaan kondisi bangunan cukup padat, hampir tidak menyisakan ruang kosong untuk tempat tumbuh pepohonan apalagi untuk areal perkebunan.
Takjub mungkin saja akan dirasakan para pengunjung kota saat bertamu di kota ini. Kondisinya yang damai dengan bangunan yang teratur menjadi ciri khasnya. Namun itu akan sirna ketika mata tertuju pada sebuah gubuk yang berdiri di sela-sela rumah besar dan bangunan kantor.
Tidak jauh dari bangunan Kantor BUMN di kota itu, terlihat sebuah gubuk yang hampir roboh. Gubuk ini dihuni seorang perempuan paroh bayah. Yang pada sore hari itu perempuan tua itu terlihat duduk terpaku. Nek Ineng, begitu warga sekitar memanggilnya. Penglihatannya yang agak terganggu membuat dia tidak bisa menyaksikan kondisi sekitarnya secara terang benderang. Termasuk bangunan besar persis berada di dekat gubuknya.
Entah apa yang dia pikirkan pada sore hari itu. Yang jelas raut muka dengan sorot mata yang sayu, menunjukkan penderitaan hidup yang ia alami. Hidup sebatang kara di gubuk reot yang hampir roboh. Sudah pasti, Nek Ineng tidak berpikir untuk bisa kaya, atau berpikir bagaimana ia bisa membangun rumah seperti tetangganya.


Nek Ineng bersih dari membicarakan kekurangan tetangga. Selain karena dia tidak memiliki kelebihan dibandingkan tetangganya, dia juga tidak memiliki teman untuk ngerumpi.
Lantas apa yang dia pikirkan di sore hari, dimana para tetangganya yang rata-rata mendiami bangunan mewah dengan leluasa bisa menikmati somay yang lalu lalang di sekitar tempat tinggalnya? Nek Ineng ternyata sejak beberapa hari ini belum pernah makan. Untuk menjanggal perutnya yang keroncongan, hanya ia isi dengan air putih. Keterbatasan fisik yang dialaminya dengan kondisi usia yang memang sudah lanjut, membuat Nek Ineng tidak lagi bisa berbuat apa-apa.
Selama ini Nek Ineng hanya bisa makan, jika ada tetangganya yang bermurah hati memberikan makanan untuknya. Kebetulan selama hampir seminggu ini, tetangganya tidak memberinya makan lagi. Mungkin lagi sedang ke luar kota.
Meski tidak makan hampir seminggu, tidak ada kata keluhan yang keluar dari mulutnya. Sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang diberikan keluasan rezeki, jangankan untuk makan untuk membeli barang mewah mereka bisa, tapi keluhan masih sangat sering terlontar dari mukut mereka. Tidak ada uanglah, belum gajian lah dan berbagai keluhan lainnya.


Tegar. Yah Nek Ineng memang perempuan perkasa yang tegar. Kondisi perutnya yang selama hampir sepekan tidak terisi tidak membuatnya luluh lantah meratapi nasibnya. Bahkan jika di tanya pun, ia tetap mengaku bahwa dia tidak pernah kekurangan makan.
“Alhamdulillah,”tiba-tiba kata-kata itu mengalir dari mulutnya, sembari menaiki gubuk yang tak ubanya seperti kandang ayam, bahkan lebih jorok dari kandang ayam. Nek Ineng mendiami gubuk dengan atap dari daun nipa. Tiang penyanggah bukan balok melainkan batang kayu bundar yang dibuat seadanya. Dibagian tengah gubuk Nek Ineng mengalasi gubuknya dengan bambu. Itu pun sudah banyak yang lapuk sehingga terlihat sudah berlubang disana-sini. Tidak ada rak pakaian, jangankan rak pakaian, pakaian Nek Ineng hanya lima lembar dengan yang di badan itupun sudah sangat usang.
Tidak ada kasur, yang ada hanya tikar yang juga sudah bolong. Dibagian lain gubuknya, tergantung dua buah panci yang biasa dia gunakan untuk memasak jika kebetulan ada yang memberinya beras. Untuk memasak, Nek Ineng biasanya memanfaatkan ranting-ranting kayu yang ada disekitar gubuknya. Jika hujan deras, atap dedaunan yang dugunakan menutupi gubuk itu tidak mampu menahan derasnya hujan, kecuali panas terik, atap itu sedikit bisa membantu.
Nek Ineng tinggal seorang diri selama puluhan tahun digubuk reot itu. Dulu ia pernah memiliki seorang suami dan anak. Tapi orang yang pernah dekat dan mendampingi hidupnya lebih dulu menghadap Tuhan. Untuk menyambung hidup, saat semua orang yang ia sayangi meninggal, Nek Ineng pernah berjualan di sebuah sekolah. Namun dengan keterbatasan fisiknya saat ini, Nek Ineng tak lagi bisa berbuat apa-apa selain menunggu sang maut melepeskannya dari belenggu derita dunia.


Entah apa yang ia syukuri sore itu. Padahal belum ada sesuap nasi pun yang masuk ketenggorokannnya. Itulah Nek Ineng. Sosok yang dilupakan oleh masyarakat di kota itu. Tidak ada yang mau tahu keberadaannya. Tidak ada yang mau pusing bahwa kekayaan yang mereka sandang karena keberadaan orang yang hidup miskin seperti dia.
Nek Ineng memang perempuan rentah yang hidup sangat miskin, tapi sikapnya menunjukkan bahwa dia lebih kaya dari para pemilik perusahaan besar. Nek Ineng mampu berucap syukur di tengah derita kemiskinannya, disaat perutnya dilanda kelaparan.
Nek Ineng menjadi potret kekayaan hakiki. Disaat si kaya masih sibuk mencatat daftar kebutuhannya yang masih sederet panjangnya, Nek Ineng malah bangga dan syukur telah memiliki gubuk yang nyaris roboh.
Tidak ada rasa iri, dengki terhadap prestasi ekonomi yang diterima para tetangganya. Ia hanya kagum dan syukur dengan ketiadaan yang ia terima. Mungkin Nek Ineng bersyukur tidak harus mencatat sederet kebutuhan hidup yang tidak ada hentinya dengan serba keterbatasan yang ia alami.
“Alhamdulillah, ya Allah,”ucap Nek Ineng pada suatu sore sambil tersenyum memandangi bangunan kokoh yang mengapit gubuknya. Entah apa makna senyuman itu. Yang jelas senyuman itu seolah mengejek para pemilik bangunan kokoh itu yang miskin hati dan miskin iman. Atau ia mengejek para pemilik gedung kokoh itu yang sangat sulit berucap syukur seperti dirinya. Ataukah ia tersenyum lantaran para tetangganya tidak melihat keberadaannya. Entah.

Nek Ineng seolah ingin berkata bahwa ketenangan jiwa dan kebahagiaan untuk mengetahui besarnya nikmat Tuhan tidak mesti dengan mendiami gedung mewah tapi lupa berucap syukur bahkan lupa bahwa ada orang miskin seperti dirinya yang hidup di sekitar gedung mewah yang butuh santunan. Senyuman Nek Ineng tak ubahnya seperti sindiran kepada para pemilik gedung mewah yang telah mati mata hatinya dan tidak lagi mau peduli terhadap orang lemah seperti dirinya. Nek Ineng mungkin ingin bilang bahwa orang kaya yang sebenarnya kaya adalah mereka yang mau berbagi rezeki dengan mereka yang papa.

Sadarlah Banyak Nek Ineng Lain disekitar kita Termasuk di Pangkajene.

Rabu, 08 Juni 2011

Menuai Madu Dari Pahitnya Buah Paria

Oleh : Hamsah

Merasakan pahitnya buah Pare atau lebih familiar dengan sebutan Paria, itulah yang dirasakan Damas, setiap kali akan menggelar pelatihan prajabatan. Pria yang bernama lengkap Damas Ibnu Nashy yang bekerja di Bagian Kepegawaian di kota itu bahkan memiliki kebiasaan unik setiap jelang pelaksanaan prajabatan.
Pada suatu subuh, waktu itu pelaksanaan prajabatan untuk semua golongan yang diterima tahun sebelumnya, Damas menyempatkan diri berlari subuh. Sebuah rutinitas yang memang menjadi kebiasaannya, namun lebih intens lagi dia lakukan saat jelang pelaksanaan prajabatan. Maklum pada setiap pelaksanaan prajabatan dia yang dominan memegang peran mengomandoi dan memberikan gemblengan kepada setiap peserta prajabatan.
Subuh itu, usai Shalat Subuh Damas meninggalkan rumahnya berlari sepanjang jalan poros di kotanya. Saat berlari tidak banyak orang yang ia temui di jalan selain para jemaah yang kembali dari shalat subuh.
Namun pemandangan berbeda ketika Damas melewati sebuah kantor Kodim. Saat Damas berpikir bahwa mungkin baru dia yang berkeliaran dalam kondisi alam yang masih didominasi oleh kabut hitam, ternyata di halaman Kodim puluhan tentara terlihat sedang melakukan senam yang dipandu salah satu diantara mereka. Mungkin komandan batalyon atau sejenisnya. Yang jelas mata Damas takjub melihat kondisi itu.


“Hmm… didikan tentara memang masih yang terbaik, saat orang masih lelap dalam tidur, mereka sudah bangun berolahraga. Tidak salah kalau metode militer memang masih populer dijadikan acuan setiap pelatihan,”pikir Damas yang berhenti sejenak memandang para pasukan tentara itu dan untuk selanjutnya melanjutkan perjalanannya.
Damas terus berlari namun pikirannya tidak pernah lepas dari kekompakan yang dilihatnya dari sikap tentara tadi. Setelah merasa berlari cukup jauh, Damas kembali berlari mengikuti jalan yang telah dilaluinya. Tepat di kantor yang juga adalah asrama Kodim yang dilaluinya tadi, para tentara itu masih terlihat aktif. Namun kali ini justru lebih menambah rasa kagum Damas. Betapa tidak jika pertama ditinggalkan, para tentara berolahraga senam, kali ini Damas menyaksikan mereka sedang kerja bakti.
Rumput-rumput yang sebenarnya belum sebesar rumput yang ada di kantornya sudah dibabat lagi. Tidak ada sampah yang tersisa. Lebih mengagumkan lagi semua kerja dengan semangat tanpa di komandoi. Sebab yang tadinya jadi komandan saat senam, juga ikut aktif bekerja bakti.
“Saya yakin sikap disiplin seperti ini tidak lahir begitu saja, ada proses panjang yang telah mereka lalui. Tapi kalau metode tentara digunakan di prajabatan apa jadinya yah? Ah sudah, kenapa saya yang pusing,”ucap Damas dalam hati.
Setelah cukup lama menyaksikan dan mengagumi sikap para tentara itu, Damas selanjutnya berlari kembali ke rumahnya untuk siap-siap ke kantor. Dari lari subuh hingga ke kantor apa yang ia saksikan tidak pernah mau hilang dari beban pikirannya. Entah kenapa peristiwa itu begitu menjadi perhatiannya.


Sampai di kantor, kejadian yang ia saksikan di asrama tentara itu masih serius menghiasi alam pikirannya. Seolah-olah ia sedang membuat sebuah konsep dengan inspirasi dari apa yang telah ia saksikan dari sikap para tentara itu.
Tidak jelas apa yang Damas pikirkan. Namun apa yang ia saksikan itu terlihat mengurangi konsentrasinya terhadap pekerjaan sehari-harinya. Bahkan pemikiran itu terbawa hingga ia pulang kantor.
Saat pulang kantor, Damas tidak terus ke rumahnya seperti biasa. Damas menyempatkan diri singgah di pasar untuk membeli buah paria. Cukup banyak buah paria yang ia beli. Sesampai di rumah, buah paria itu diberikan ke istrinya untuk di masak.
Istri Damas sedikit heran dengan pemberian suaminya itu. Ia bertanya-tanya dalam hati, tidak biasanya suaminya makan buah seperti itu.
“Mau dimasak apa pak?,”tanya istrinya.
“Masak tumis saja,”jawabnya.
“Tumben, mau makan buah pahit kayak begini pak,”Tanya istrinya lagi yang dari tadi bertanya-tanya dengan sikap aneh suaminya itu.
“Kata orang, itu obat, jadi saya coba untuk terus menjaga kondisi kesehatan,”sambut Damas beralasan, namun sebenarnya dari lubuk hatinya ada hal yang ia pendam.
Sebenarnya Damas hanya ingin melukiskan perasaannya dengan buah-buahan itu. Ia berencana mengkonsumsi buah paria itu hingga masa prajabatan bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di daerahnya selesai.


Akhirnya tanpa terasa waktu prajabatan itu tiba. Waktu yang bagi Damas ia merasakan pahitnya paria melebihi yang ia makan tiap harinya. Pahit ketika ia harus menghukum para peserta prajabatan yang melanggar peraturan.
Saat waktu itu tiba, Damas tiap hari tidak pernah alpa membeli buah paria. Buah yang ia nikmati setiap hendak ke menjalankan aktifitasnya dan terutama pada malam hari. Tidak ada yang diberi tahu tentang alasan dia sebenarnya menkonsumsi paria tersebut. Yang jelas ia memendam perasaan yang dalam saat mendampingi para peserta prajabatan. Suasana yang digambarkannya seperti rasa paria yang ia nikmati itu.
Suatu subuh, Damas seperti biasanya datang lebih awal di lokasi tempat berkumpulnya peserta prajabatan. Tepatnya di sebuah Mesjid besar di kota itu. Kebetulan halaman mesjid itu mendukung untuk kegiatan baris-berbaris bagi peserta.
Seperti biasanya setelah Shalat Subuh, para peserta di perintahkan baris berbaris. Setelah itu dilakukan pengecekan daftar hadir untuk mengetahui kuantitas kehadiran dan siapa-siapa peserta yang tidak hadir saat itu.
Setelah melakukan pengecekan, para peserta prajabatan diperintahkan untuk melakukan agenda rutin seperti lari subuh dan senam. Namun saat senam sedang berlangsung Nampak tiga peserta yang muncul dari arah samping barisan. Spontan Damas yang melihat hal itu, langsung seolah menelan buah paria. Pahit dan tidak enak di tenggorokan, namun harus tetap ditelan.

Begitulah Damas melewati suasana hatinya. Dari lubuk hatinya, ia tidak tega memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar aturan. Namun di sisi lain tuntutan pendidikan disiplin yang harus ia terapkan. Tidak ingin gagal, rasa simpati terhadap sikap disiplin tentara yang pernah ia saksikan menjadi bayang-bayang dan memberikan inspirasi bagi dirinya untuk tetap menempuh langkah-pangkah tepat meski harus menghukum para peserta prajabatan itu.
“Yang terlambat itu silahkan maju ke depan,”teriaknya. Kontan tiga peserta yang tadinya terlambat langsung maju di depan.
“Sekarang pegang telinga. Trus kengkreng,”perintahnya.
Tiga peserta yang terlambat tadi langsung mengikuti instruksi tersebut. Bukan itu saja mereka juga diperintahkan untuk berteriak tidak akan terlambat sebanyak 50 kali dihadapan peserta lain.
“Masih mau terlambat?,”
“Tidak pak,”sahut ketiganya kompak.
Tidak ada pertanyaan penyebab keterlambatan mereka dari Damas. Seolah Damas sudah paham, bahwa pertanyaan itu justru akan memanjakan para peserta dengan membuat alasan-alasan yang bisa mengundang simpati.
“Disiplin tidak hadir dari sikap cengeng. Jika semua aparatur pemerintah cengeng dan pintar mengumbar alasan, entah bagaimana tugas-tugas aparatur ke depan,”pikir Damas dalam hati.
Suara Damas begitu tegar saat memberikan instruksi bahkan ketika menghukum. Ia cukup sempurna menyembunyikan suasan hatinya yang sebenarnya galau ketika harus berhadapan dengan peserta yang bandel. Namun ia tetap berpikir, bahwa sepahit apapun, itu telah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Bahkan ia merasa kesalahan paling besar ketika pasca prajabatan tidak ada perubahan sikap yang dialami para peserta prajabatan.
Damas sendiri ingin menepis anggapan bahwa kegiatan itu hanya formalitas belaka. Sehingga bisa saja ia bermasa bodoh membiarkan para peserta prajabatan berbuat semaunya. Namun substansi kegiatan tetap menjadi targetnya. Meski Damas sadar bahwa sikap disiplin yang ia kagumi dari para anggota TNI tidak lahir dari sebuah gemblengan singkat seperti yang ia laksanakan bagi para CPNS yang akan memasuki dunia PNS secara utuh, namun Damas tetap berharap ada hasil memuaskan dari pelatihan yang diselenggarakan itu.

Dengan pemikiran itu, tidak hanya saat latihan senam dan lari pagi Damas kerap menghukum peserta. Di ruang kelas Damas juga tetap berlaku tegas. Tidak ada yang boleh bermain-main dengan peraturan yang telah ditetapkan.
“Ingat apa yang kami lakukan ini, semua demi kebaikan saudara. Kami yakin dari pahit getirnya pelatihan ini, ada madu yang akan dihasilkan setelah kegiatan ini,”ungkap Damas pada sebuah kesempatan di ruang kelas. Saat itu, Damas melihat para peserta banyak yang kurang disiplin, ada yang telat ikut pelajaran, ada yang keluar masuk ruangan dan ulah aneh lainnya.
Damas tidak menggertak. Namun ungkapan Damas itu nampaknya dipahami oleh peserta sebagai bentuk teguran. Sehingga setelah ungkapan itu diucapkan Damas, para peserta mendadak duduk terdiam. Tidak ada yang berani berbisik-bisik. Sebab mereka sadar jika dengan nada sindiran seperti itu, peserta belum sadar juga, maka seperti biasanya mereka akan dipersilahkan keluar dari ruangan. Itu yang paling mereka takuti.
Melihat peserta sudah duduk terdiam, Damas melanjutkan kata demi kata untuk memberikan pencerahan. Sikap Damas yang tegas ini menjadikan Damas lebih disegani oleh peserta prajabatan dibanding yang lainnya. Akibatnya pada setiap kegiatan ketika Damas yang hadir selaku pendamping, maka di kelas itu tidak ada yang berani bermain-main. Damas sendiri kerap berkeliling dari satu kelas ke kelas lain untuk melakukan pemantauan.
Damas memang yang paling banyak memegang andil dalam kegiatan prajabatan ini. Maka cukup beralasan jika Damas selama masa prajabatan itu menkonsumsi buah paria sebagai cambuk.
“Jika tidak ada perubahan sedikitpun bagi peserta prajabatan ini, yang gagal saya. Makanya saya harus melawan perasaan saya. Tak tahan rasanya memarahi apalagi menghukum mereka,”gumam Damas dalam hati pada suatu siang. Ketika para peserta prajabatan sedang beristirahat dan makan siang.
Tiada terasa waktu hampir sebulan telah berlalu. Damas sedikit legah. Bebannya selama kegiatan itu berlangsung akan berakhir. Jelang akhir kegiatan Damas mulai lebih dekat dengan peserta. Sejumlah saran-saran untuk memunculkan kebersamaan sesama peserta dia ajukan, mulai dari sumbangan mesjid dan panti asuhan hingga kegiatan malam ramah tamah.

Pada malam ramah tamah permohonan maaf tidak hentinya keluar dari mulut Damas. Puncaknya pada acara penutupan. Damas betul-betul menjadikan ajang penutupan itu sebagai momen untuk memohon maaf. Seolah telah berbuat kesalahan yang besar. Namun setegar apapun Damas. Ia tetap manusia biasa yang punya rasa sedih dan haru. Sehingga bagaimanapun ia menahan rasa haru itu, setetes air mata sempat menyeruak dari kelopak matanya. Meski tidak disaksikan oleh peserta, namun air mata itu menjadi saksi bahwa Damas juga memiliki perasaan haru yang teramat dengan berakhirnya kegiatan itu.
Suaranya sedikit serak saat membacakan puisi ciptaannya. Ia galau dengan perasaan bersalahnya. Namun dengan berbesar hati dengan berusaha menahan rasa sedihnya puisi itu ia tuntaskan. Namun tetap saja suara dan air matanya membuat Damas tidak bisa membohongi para peserta ia juga merindukan kebersamaan, canda tawa yang mereka lalui bersama.
Masa itu telah berlalu. Para peserta kembali ke tempat kerja masing-masing. Para peserta mungkin sudah legah dengan berakhirnya kegiatan prajabatan itu. Namun tidak begitu bagi Damas. Buah paria yang ia konsumsi belum ia akhiri. Ia masih penasaran ingin melihat hasil gemblengannya di prajabatan.


Pagi-pagi sekali, Damas sudah ke kantor. Di jalan ia sengaja memperlambat kendaraanya. Bahkan ia sengaja memutar ke beberapa kantor instansi di daerahnya. Ada senyum menghiasi bibirnya ketika dijalan, dari dalam kendaraan roda empat yang ia gunakan terlihat pengendara berpakaian dinas lengkap, satu per satu ia kenal. Mereka adalah orang-orang yang selama ini bertatap muka dengannya di ruang kelas prajabatan.
Damas memperhatikan jam tangannya. Waktu apel pagi masih lama. Ia kembali menempuh jalan lain. Sebuah jalan yang juga melewati beberapa instansi pemerintah. Lagi-lagi senyum merekah dari bibirnya. Sebab dibeberapa halaman kantor pemerintah yang ia lalui, kembali ia melihat orang-orang yang pernah ia ceramahi bahkan bentak sudah ada di halaman kantor menunggu waktu apel pagi.
Puas menyaksikan itu semua, Damas meneruskan perjalanannya ke kantor tempat ia bekerja. Kebetulan bagian kepegawaian tempatnya bekerja satu lokasi dengan kantor pemerintah daerah setempat.
Di tempat ini, lagi-lagi Damas merasa legah, meski belum banyak pegawai yang datang, namun yang menunggu dilokasi apel juga orang-orang yang telah menelan potongan mentimun mentah dengan sambel pedasnya di prajabatan dulu.
“Hufff..alhamudulillah…akhirnya paria yang saya makan tiap hari membuahkan manisnya madu. Semoga ini tetap bertahan,”harapnya. Wassalam
***********

Jumat, 20 Mei 2011

Yang Tersisa Dari Prajab

Sajak Buat Peserta Prajab, Karya : Hamsah



Matahari terbenam diufuk barat
Tepat akhir pelaksanaan prajabatan
Suasana alam menjadi kelam
Sekelam rasa di hati

Oh……
Rasa kelam itu mendadak menyerang
Menggantikan getar indah yang selama prajabatan mengisi relung hati

Oh…..
Ada rasa takut getar indah itu akan sirna
Sirna bersama berakhirnya prajabatan ini
Saat semua tak lagi melewati hari penuh kebersamaan


Getar indah itu datang pada hari ke tiga prajabatan
Saat senyum merekah dari balik jilbab hitam
Saat canda terlontar dari pemilik dasi hitam

Ada rasa yang begitu dalam menghunjam kalbu
Tak tahu
Rasa persahabatan, persaudaraan atau asmarakah itu ?


Ada rasa kalut, galau dan takut
Tapi, abaikan saja rasa itu
Jika ia rasa persahabatan dan persaudaraan
Biarkan terus tumbuh demi pembangunan daerah

Dan jika itu asmara, biarkan ia subur di taman hati
Memancarkan aroma kebahagiaan
Dan biarkan ia kekal hingga dua hati menyatu.