Jumat, 20 Mei 2011

Yang Tersisa Dari Prajab

Sajak Buat Peserta Prajab, Karya : Hamsah



Matahari terbenam diufuk barat
Tepat akhir pelaksanaan prajabatan
Suasana alam menjadi kelam
Sekelam rasa di hati

Oh……
Rasa kelam itu mendadak menyerang
Menggantikan getar indah yang selama prajabatan mengisi relung hati

Oh…..
Ada rasa takut getar indah itu akan sirna
Sirna bersama berakhirnya prajabatan ini
Saat semua tak lagi melewati hari penuh kebersamaan


Getar indah itu datang pada hari ke tiga prajabatan
Saat senyum merekah dari balik jilbab hitam
Saat canda terlontar dari pemilik dasi hitam

Ada rasa yang begitu dalam menghunjam kalbu
Tak tahu
Rasa persahabatan, persaudaraan atau asmarakah itu ?


Ada rasa kalut, galau dan takut
Tapi, abaikan saja rasa itu
Jika ia rasa persahabatan dan persaudaraan
Biarkan terus tumbuh demi pembangunan daerah

Dan jika itu asmara, biarkan ia subur di taman hati
Memancarkan aroma kebahagiaan
Dan biarkan ia kekal hingga dua hati menyatu.


Hitam Putih

Karya : Hamsah



Latar belakang boleh beda
Bidang keilmuan boleh beragam
Strata mungkin juga tak sama
Namun menyatu dalam warna hitam putih

Sepekan, dua pekan, tiga pekan, lebih
Warna-warni keragaman menyatu dalam warna hitam putih
Ngantuk, bosan, jenuh terlewatkan
Teredam dalam warna hitam putih


Ada persaudaraan ada persahabatan
Ada kebersamaan Bahkan ada asmara
Terpancar dari kerudung hitam
Menyelinap dibalik dasi hitam dan kemeja putih

Hitam putih mewarnai pekan demi pekan
Menyatu dalam naungan embun pagi
Menimba ilmu dari kaum cendekiawan
Menikmati menu yang seragam

Berjuta kenangan indah, pahit Merajuk dikalbu
Melewati hari demi hari dalam seragam hitam putih
Akankah kenangan dan kebersamaan itu kekal
Saat semua kembali ke warnanya sendiri ?


Malam ini, warna persaudaraan itu mengukir sejarah
Malam ini warna kebersamaan itu menitip pesan luhur
Malam ini warna asmara itu melukis kerinduan
Dan malam ini warna persahabatan itu berakhir
Namun semua bukan berarti akhir dari segala kenangan
Dan juga bukan ujung dari tali persaudaraan
yang terbangun di atas pondasi cinta dan kasih sayang

mari jadikan akhir warna hitam putih sebagai awal masa depan
masa yang dibangun dari kerjasama, kebersamaan dan disiplin
masa yang dahulu hanya menjadi angan-angan
masa yang selalu akan dirindukan.

Sang Pejuang Yang Terabaikan

Cerpen Cermin Kehidupan, Karya Hamsah



Pagi masih menunjukkan sekira pukul 07.30 waktu setempat, seorang lelaki tua berjalan terseok-seok. Langkahnya yang kelihatan agak sempoyongan menunjukkan bahwa usianya tidak muda lagi. Raut muka kondisi tubuh yang sudah mulai bongkok menandakan si kelaki tua tidak lagi memiliki cukup tenaga untuk bekerja keras.
Tapi itu ternyata adalah pengecualian bagi lelaki yang akrab disapa Allu. Udara pagi masih menyelimuti pusat kantor pemerintahan di kota itu. Namun Allu sudah tiba di kantor pemerintahan, meski dengan kostum yang berbeda dengan para pegawai yang bertugas secara resmi di kantor itu yang datang dengan seragam khasnya.
“Siaaap Grak”, sebuah teriakan dari barisan pegawai yang berkumpul secara teratur di depan kantor pemerintahan itu. Suara itu langsung diikuti dengan gerakan refleks oleh anggota barisan. Tidak jauh dari mereka berdiri, Allu tetap asyik dengan kebiasaannya tiap hari di kantor itu yakni memungut kantong bekas, kemasan air dan aneka sampah yang tiap hari ada saja berserakan di sekitar kantor. Teriakan ‘siap grak’ yang diucapkan pemimpin barisan pegawai itu tidak mengalihkan perhatiannya bahkan untuk sekedar berpaling. Allu tetap konsentrasi pada dedaunan yang berserakan di sekitar halaman kantor.
Tidak hanya di pelataran kantor pemerintahan saja, di ruangan-ruangan Allu juga selalu terlihat. Dia terkadang duduk dideretan kursi peserta rapat. Saat rapat berlangsung Allu hanya duduk terdiam menyaksikan jalannya rapat. Namun setelah itu, setelah ruangan sepi ditinggalkan oleh peserta rapat, barulah Allu melakukan aksinya. Bungkusan kue yang tertinggal di meja-meja atau yang tercecer di ruangan disapu bersih oleh Allu. Tong sampah plastik yang telah disiapkan dari awal langsung diisi penuh dengan sampah-sampah plastik bekas kemasan air, dan bungkusan kue.


Tanpa beban, meski diusianya yang sudah separuh baya, sampah-sampah itu diangkut ke salah satu sudut halaman kantor pemerintahan sebagai tempat terakhir untuk selanjutnya diangkut oleh petugas sampah di daerah itu.
Perjuangan hidup seperti itulah yang tiap hari di lalui Allu, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari. Hidup membujang diusianya yang memasuki senja, mengurangi beban hidupnya, paling tidak mengurangi cita-cita kemewahan hidup bagi dirinya.
Sekilas tidak ada beban hidup yang terlihat dari raut mukanya. Tiap hari dia selalu terlihat ceria, bahkan terkadang Allu menyempatkan diri bercanda dengan gaya khasnya dengan para staf di kantor pemerintahan itu.
Allu mungkin tidak diperhitungkan sebagai staf di kantor itu, sebab dia datang tanpa harus mengisi absen seperti pegawai kebanyakan, tidak perlu berkostum rapi. Tapi apa yang dilakukan oleh Allu memberikan manfaat besar bagi kondisi lingkungan perkantoran pemerintahan itu.
Bisa dibayangkan, tanpa Allu seperti apa ruangan yang hampir tiap hari dipenuhi bekas bungkusan kue? Yah Allu adalah pejuang yang mungkin saja tidak disadari perjuangannya di kantor itu. Disaat para aparatur pemerintahan sibuk dengan tugas mereka, Allu juga sibuk dengan tugasnya yang tentu secara sekilas sepele tapi dampaknya sangat berarti jika tidak diurusi.
“He.. saya selalu paling cepat masuk kantor,”katanya pada suatu hari dihadapan para pegawai disebuah ruangan di kantor pemerintahan itu.
Tidak ada beban bagi dia untuk mengungkapkan itu, juga terlihat tidak ada tujuan tertentu bagi Allu mengungkapkan kata-kata itu. Dan para pegawai yang mendengarkan juga acuh dengan apa yang baru saja diungkapkan Allu.


Bukankah Allu tidak harus mengisi absen ketika masuk kantor? Jika dia terlambat konsekwensinya juga tentu tidak ada. Aturan yang berlaku di kantor itu termasuk datang tepat waktu ke kantor, tidak berlaku bagi Allu.
Tapi apa maksud ungkapan itu? Berpikir sejenak, ungkapan Allu meski bukan itu tujuan dia untuk mengatakan itu nampaknya berbau sindiran. Ungkapan itu seolah ingin mengatakan pada semua staf kantor, bahwa tiap hari dia masuk kantor lebih awal dari para pegawai yang gajinya jauh lebih besar dari gaji Allu. Ungkapan itu juga seolah ingin mengungkapkan bahwa disiplin itu tidak harus diikat dengan absen. Dia seolah ingin bilang , lihat saya yang tidak diatur oleh absen tetap bisa datang jauh lebih awal dari kalian yang memiliki ,ketergantungan’ dengan absen. Dia juga seolah ingin bilang saya tidak kerja kerana absen tapi saya kerja karena tanggung jawab dan amanah.
Ada falsafah hidup yang coba diungkapkan oleh Allu yang dipandang sebelah mata di kantor itu. Ada contoh yang ia tunjukkan. Ada kandungan makna yang menarik untuk dianalisa pada setiap perkataan dari ‘kebodohannya’. Sebuah ungkapan kebodohan yang ia lontarkan bisa mebuat kita bertambah pintar, atau sebaliknya tambah bodoh dan lebih bodoh dari dia.
Allu memang sang pejuang yang terlupakan. Tidak saja terlupakan dari perannya yang begitu besar dalam mengemban tugas kebersihan dikantor itu, tapi juga terlupakan dari pola disiplin yang ia terapkan. Bisakah sang pejuang seperti Allu diperhitungkan dan kembali dilirik dikantor itu? Jawabannya ketika pola disiplin sudah bisa diterapkan paling tidak menyamai kedisiplinan Allu maka saat itu Allu tidak lagi dilupakan, artinya Allu tidak lagi sebatas pejuang kebersihan tetapi juga pejuang kedisiplinan. Tapi mungkinkan itu jadi cerminan hidup paling tidak dikantor tempat Allu melewati hidupnya tiap hari. Pola hidup Allu memberikan pilihan bagi staf dikantor itu, ingin memiliki nilai lebih dari Allu atau sebaliknya harus merelakan Allu unggul dan hidup lebih bobrok dari Allu???

Senin, 09 Mei 2011

Sepotong Mentimun

Karya : Hamsah

Sepotong mentimun langsung merebak disela-sela nasi, di atasnya tampak tumpukan sambal goreng. Ku ambil sendok plastik yang ada di sudut lain dos nasi itu untuk membersihkan tumpukan sambal yang ada di atas mentimun. Takut sesekali panitia memerintahkan untuk menghabisi mentimun terlebih dahulu sebelum makan nasi dan lauk yang ada seperti yang kerap diperintahkan kepada kami.

Ku coba menoleh ke arah teman lain yang juga sementara asyik membuka dos nasi mereka. Yang aku pandangi balik menatap ke arah saya. Yang lain juga saling menatap sambil tersenyum. Entah apa maksud tatapan itu. Yang jelas setiap makan siang aksi saling tatap terus berlangsung seperti keberadaan sepotong mentimun yang tidak pernah alpa berada di antara tumpukan nasi kami.


“Habiskan mentimun dulu sebelum makan nasinya,”lontar salah seorang panitia. Para peserta Prajabatan mendengar perintah itu tidak langsung mengikuti intruksi, sebaliknya mereka justru kembali saling pandang dan melempar senyum. Setelah itu sepotong mentimun itu berpindah ke mulut mereka.
Namun siapa sangka tidak semua peserta menyukai mentimun. Ada juga yang diantara peserta yang betul-betul tidak menyukai mentimun. Devi, seorang gadis cantik dari salah satu dinas di daerah itu mengaku sangat alergi dengan mentimun. Maka ketika makan siangnya di pandu oleh panitia, rasa was-was terus menghantuinya. Takut di hukum tentu saja menjadi alasannya.
Beruntung Devi berparas cantik. Banyak lelaki dari peserta Prajabatan itu yang menyimpan hati untuk Devi. Tidak heran jika saat jam makan siang tiba, banyak lelaki yang mendekat ke Devi. Mereka bermaksud menolong Devi dengan jalan mengambil sepotong mentimun milik Devi.
Hany, seorang pria yang menjadi fans berat Devi. Pada setiap kesempatan Hany terus berupaya menarik simpati Devi. Sejak awal, Hany memang berharap menemukan tambatan hatinya di prajabatan ini. Sehingga saat melihat Devi, ia terobsesi untuk bisa mengenal bahkan bisa berteman dekat dengan Devi atau istilah remajanya pacaran.
Namun ternyata bukan Cuma Hany saja yang mengagumi Devi, pria lain bernama Musa ternyata diam-diam juga menaruh perhatian dengan Devi. Musa juga sudah tahu jika Hany menyukai Devi, sebab pada setiap berlangsungnya materi, Hany dan Musa terus duduk berdekatan di bangku terakhir. Mudah saja Musa untuk mengawasi gerak Hany bahkan sesekali Hany malah berceritera kepada Musa soal perasaan hatinya.


Melihat Devi tidak menyukai mentimun, Musa dan Hany seolah mendapatkan pintu masuk.”nah kalau begini, jika ingin mendapatkan hati Devi kayaknya saya harus berburu mentimun,”pikir Hany. Musa juga memiliki pikiran sama dengan Hany.
Sebenarnya Hany juga tidak terlalu menyukai mentimun, namun karena terlanjur menganggap berburu hati Devi berarti juga harus berburu mentimun, Hany terus berupaya menjadi dewa penolong bagi Devi pada setiap makan siang tiba.
Jam menunjukkan pukul 12.00 waktu setempat, artinya waktu makan seperti bisanya tiba. Seperti biasanya Hany langsung duduk dekat Devi. Ia menunggu overran mentimun dari dos nasi Devi.”Jangankan mentimun, makan bersama di satu piring aja saya mau,”pikir Hany yang langsung melahap mentimun pemberian Devi. Hany begitu menikmati mentimun itu.
“Ini bukan mentimun biasa, ini mentimun cinta,”pikir Hany lagi, seolah yang dimakannya bukan sepotong mentimun. Di sudut lain Musa terlihat kecewa sebab tidak sempat mendapatkan mentimun milik Devi. Musa kesal akibat kalah cepat dengan Hany mengambil mentimun itu.
Kepada Devi, Hany mengaku sangat suka makan mentimun, meski itu hanya alasan belaka biar Devi bisa lebih dekat dengan dia. Namun berkat mentimun itu, Hany terlihat lebih akrab dengan Devi. Bukan hanya ketika akan makan siang saja Hany terlihat terlibat perbincangan dengan Devi, bahkan pada saat jam istirahat Hany juga dapat kesempatan berbincang dengan Devi.


Musa yang terkenal paling iseng di ruangan itu nampaknya tidak ikhlas melihat kedekatan Devi dengan Hany. Dengan sikap isengnya tidak jarang Musa mengganggu dan mencuri kesempatan dengan Devi, baik pada saat berfoto bersama dan lainnya. Namun tetap saja Hany tidak mau kalah.
Hany kerap berupaya menyenangkan Devy. Melucu atau pura-pura minta bantuan jadi trik ampuh bagi Hany untuk bisa terus dekat dengan Devy. Jurus yang dilakukan Hany nampaknya ampuh juga. Terbukti hampir tiap hari Hany dan Devy kerap duduk bersama bahkan saat jam istirahat jalan bersama sambil ngobrol.
Namun kedekatan itu, belum sempurna sebab Hany sendiri hanya memendam perasaan hatinya. Hany kehilangan nyali untuk menyampaikan luapan perasaannya ke Devy. Akibatnya keakrabatan yang dibina hanya keakraban semata sebagai teman.
Hingga pada suatu hari, waktu itu masa prajabatan tersisa seminggu lagi, seorang laki-laki berpenampilan menarik mengunjungi lokasi Prajabatan. Laki-laki itu datang mencari Devy. Devy yang mengetahui kedatangan laki-laki itu langsung menghampirinya. Mereka kemudian terlibat perbincangan serius, Devy terlihat manja dengan lelaki tadi.
Dari cara bicara dan sikap Devy terhadap lelaki tadi sangat jelas bahwa lelaki yang datang itu memiliki hubungan serius dengan Devy. Hany yang mencuri pandang dari jauh merasa trenyuh dengan keakraban mereka. Entah karena apa, tiba-tiba ada perasaan yang aneh dalam diri Hany. Sebuah rasa yang membuat tulang-tulang Hany lemas tak bertenaga. Tidak tahan berlama-lama mencuri pandang keakraban Devy dan lelaki tadi, Hany kemudian menenangkan diri di Mushallah dekat aula tempat berlangsungnya Prajabatan.
“Huffff…. Mentimun yang saya nikmati memang masih sepotong kapan sepurnanya yah,”gumam Hany dalam hati sambil membaringkan badannya di dalam Mushallah.
Rasa penasaran Hany terhadap lelaki yang datang tadi dan terlihat akrab dengan Devy ternyata membuat Hany penasaran. Namun Hany sendiri tidak berani untuk menanyakan langsung ke Devy tentang laki-laki tadi. Ia takut dianggap lancang atau dianggap tidak tahu diri.
“Musa,.. yah Musa…,”Hany teringat Musa temannya yang paling iseng.
Hany berencana memanfaatkan sikap iseng Musa untuk menanyakan siapa lelaki tadi yang datang menemui Devi.
“Musa, kamu tahu gak siapa lelaki tadi yang datang menemui Devy,”Tanya Hany saat bertemu Musa. Hany sendiri sempat berkeliling lokasi Prajabatan untuk mencari keberadaan Musa. Ternyata Musa sedang kumpul dengan teman-teman prajabatan lainnya sambil melucu.
“Tidak, kenapa?,”sahut Musa.
“tolong yah kamu cari tahu siapa lelaki tadi,”harap Hany.
“Kenapa bukan kamu saja yang nanya langsung ke Devy,”ledek Musa yang sudah tahu selama ini Hany memendam perasaan sama Devy.
“Tolonglah teman mu ini, kamu kan tahu saya kurang berani untuk masalah seperti ini, please cari tahu yah….,”kata Hany memelas.
“Hmmm….,”Musa menggumam sambil mengangguk tanda setuju.
Belum lama mereka berbincang tiba-tiba Devy berlalu di depan mereka. Spontan sikap iseng Musa muncul.
“Cieee…..tawwa,”ledek Musa.
“Cieee apa?,”sahut Devy yang merasa diledeki oleh Musa. Devy pun mendekat ke Musa yang saat itu lagi bersama Hany.
“Lagi berbunga-bunga ni yeee..dapat kunjungan, yang itu yah???,”ledek Musa lagi dengan nada isengnya.
“Huh sembarangan…biasa lagi,”sahut Devy menangkis guyonan Musa.
“Yang itumikah calon bapaknya kenapa tidak dikenalkan sama kita-kita,”lanjut Musa masih penuh guyonan dalam dialeg setempat.
“Mang kenapa? Gagah toh,”balas Devy juga dengan guyonan.
“seriuska ini, yang itumikah? Klo iya kita mau mengundurkan ini,”lagi-lagi Musa terus memainkan ciri khas isengnya.
“Tidak apa-apa maju saja kalau mau jadi yang ke lima,”ujar Devy tidak mau kalah.
Jawaban Devy ini meski tidak serius tapi sudah menjawab tanda Tanya di hati Hany yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perbincangan antara Musa dan Devy.


Sejak mengetahui Devy sudah memiliki pacar, Hany mulai tidak segencar dulu mendekati Devy. Meski tiap saat ia tetap berupaya dekat dengan Devy. Itu dilakukannya agar Devy tidak menaruh curiga terhadapnya.
Trenyuh. Perasaan itu yang menghantui Hany sejak mengetahui Devy sudah memiliki pacar. Ada harapan yang hilang dari diri Hany yang sejak awal mengikuti prajabatan menggantungkan harapan bisa menemukan tambatan hatinya di pajabatan itu.
“Kenapa juga baru sekarang ketahuan, kenapa bukan dari awal supaya bisa cari yang lain,”sesal Hany dalam hati.
Hingga prajabatan berakhir, Hany tetap seperti awal dia mengikuti Prajabatan. Belum ada perempuan yang berhasil menggait hatinya. Belum ada kata cinta yang terlontar dari mulutnya untuk seorang perempuan. Ucapan yang hampir saja disampaikannya pada Devy yang ternyata lebih dahulu menemukan tambatan hati meski bukan sesama peserta prajabatan.
Tidak terasa waktu hampir sebulan kegiata prajabatan berlangsung. Hingga memasuki malam ramah tamah, para peserta prajabatan khususnya dari golongan III yang hadir malam itu bergembira ria. Kecuali Hany yang memilih duduk di sudut paling belakang gedung. Matanya tidak berhenti memperhatikan orang-orang yang ada di depannya. Seolah ada yang ia cari. Devy. Nama itu ada dalam hatinya, namun disudut lain ia berharap ada Devy lain yang ia temukan malam itu. Namun hingga acara selesai tidak seorang pun yang diajak bicara oleh Hany kecuali teman-teman satu ruangannya yang sempat menyapanya dan dijawab seadanya oleh Hany.
Masa penutupan pun tiba. Hany memilih berdiri duduk di samping kanan deretan peserta. Matanya tetap jalang mengawasi peserta lain. Di matanya masih tersimpan harapan, ada Devy lain yang nyangkut di matanya. Namun hingga acara penutupan, harapan itu tetap belum terjawab.
Usai penutupan Hany pamit lebih awal kembali ke tempatnya mengajar. Hany merupakan salah satu guru yang mengajar di sebuah pedesaan di Kota itu. Hany langsung kembali ke kosnya. Setiba di kos Hany langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur. Mata dan pikirannya mengawang-awang. Ia sempat terlelap dalam tidur hingga sore hari.
Jam menunjukkan pukul 16.00 sore waktu setempat. Hany menghibur dirinya dengan berjalan mengelilingi perkampungan. Sejak ia mengajar di desa tersebut, ini yang pertama kali ia berjalan mengelilingi kampung. Biasanya Hany lewat mengendarai motor, itupun ketika ada kepentingan tertentu. Namun kali ini ia hanya berjalan tanpa tujuan.
Tiba di sebuah persimpangan jalan, tepatnya didepan sebuah rumah panggung besar. Hany berhenti sejenak. Matanya tiba-tiba tertuju pada buah mentimun yang bergelantungan di halaman rumah panggung besar tersebut. Entah apa yang Ia pikirkan.
“Mentimun. Kapan saya dapat dengan utuh?selama ini saya hanya dapat sepotong. Sepotong seperti serpihan hati yang juga masih sepotong belum juga cukup satu,”pikir Hany sambil terus memperhatikan buah mentimun tadi.
Cukup lama Hany memperhatikan buah mentimun tersebut, hingga ia baru tersadar ketika ada suara yang menyapanya dari dalam halaman rumah itu.
“Ada yang bisa saya bantu pak,”ucap sebuah suara yang ternyata pemiliknya adalah seorang gadis remaja. Jika ditaksir usianya sekitar 15-16 tahun.
Hany terperanjat dari lamunannya mendengar suara itu. Ia pun langsung tergugup.”ee..ee.. tidak Cuma lihat-lihat,”jawabnya gugup.
“Mau mentimun pak. Sini masuk pak, petik saja kebetulan buahnya banyak,”lanjut remaja tadi.
“Tidak saya Cuma terkenang dengan buah mentimun ini,”sahut Hany.
“Maksudnya pak,”
“Ia, kondisi saya saat ini seperti mentimun itu,”
Remaja tadi makin penasaran.”saya tidak mengerti pak, bisa dijelaskan,”harap remaja tadi penasaran.
“Cerita nya begini,”lanjut Hany.
“Masuk dulu disini pak sambil cerita,”ajak gadis tadi dengan ramah.
Kali ini Hany tidak bisa mengelak. Ia pun mengikuti ajakan gadis tadi dan masuk ke halaman rumahnya. Diam-diam hany memperhatikan wajah gadis tadi.”gadis ini cantik juga,”pikir Hany.
“Begini dek,”Hany melanjutkan ceritanya soal mentimun tadi.
“Saya baru saja selesai prajabatan. Di prajabatan saya selalu dapat mentimun sepotong. Saat itu saya berpikir bahwa hati saya juga seperti mentimun itu. Masih sepotong dan butuh disempurnakan jadi mentimun yang utuh. Makanya diprajabatan saya berniat menyempurnakannya utuh seperti mentimun, tapi tidak berhasil,”jelas Hany.
“Ohh gitu yah….saya mulai mengerti,”sahut gadis tadi.
“Mudah-mudahan saya cepat dapat menyemprunakan hati saya hingga bisa utuh seperti mentimun tadi, eh boleh kenalan,”Hany mengulurkan tangannya sambil menatap gadis tadi.
“Saya Hany, kamu?,”
“Saya Yovi,”sahut gadis tadi yang ternyata bernama Yovi malu-malu.
Cukup lama Hany terlibat perbincangan dengan Yovi. Hany bercerita pengalaman saat mahasiswa hingga ia mengajar di kampung itu. Yovi mengikuti cerita Hany dengan serius. Perkenalan mereka itu tiba-tiba langsung akrab hari itu. Bahkan saat bercerita dengan Yovi, Ibu Yovi juga turut serta. Ibu Yovi bergabung dengan mereka sambil membawa segelas teh panas dan makanan ringan, membuat perbincangan mereka makin panjang. Karena cerita panjang lebar sambil tertawa, Hany tidak hanya akrab dengan Yovi tapi juga dengan ibu Yovi.
“Sudah hampir malam, saya pamit dulu dek, ibu,”tutur Hany yang baru menyadari bahwa hari hampir memasuki malam. Ia tidak merasa telah lama berada di tempat itu.
“Ia nak, jalan-jalan kesini jika ada waktu,”jawab ibu Yovi.
Sejak perkenalan itu, Hany sering-sering ke rumah Yovi. Yovi juga mulai menyukai Hany begitupun sebaliknya. Sementara ibu Yovi juga cukup senang pada setiap kehadiran Hany. Selain Hany memang sopan dalam bertutur, paling tidak dimata ibu Yovi Hany adalah lelaki mapan yang sudah punya kerjaan tetap, sehingga ia juga tidak khawatir jika anaknya sampai menyukai Hany.
Selain sopan, pada setiap berkunjung Hany tidak alpa membawa bungkusan untuk ibu Yovi dan kerap membeli rokok untuk bapak Yovi yang sangat doyang merokok. Bukan itu saja Hany juga tidak jarang turut membantu menggarap dan memelihara kebun mentimun di halaman rumah Yovi.
“Akhirnya hati saya sudah utuh seperti utuhnya mentimun ini, tidak lagi hanya sepotong seperti yang saya dapatkan di Prajabatan tiap hari,”ucap Hany dalam hati sambil megangi buah mentimun besar berwarna putih di depannya. (Tamat)

Menembus Alam Bersama Bupati Sidrap

Menyambung Hidup Dari Air Di Dedaunan





Matahari hampir berada tepat di atas kepala, ketika rombongan yang dipimpin langsung Bupati Sidrap H Rusdi Masse memasuki jalan setapak menuju Desa Buntu Buangin Kecamatan Pitu Riase. Sebuah wilayah perbatasan dengan Kabupaten Wajo. Rombongan Bupati sendiri mulai star dari Barukku.


Ikut dalam rombongan Ketua DPRD Sidrap, A Sukri Baharman, Wakil Ketua DPRD Sidrap A Hindi Tongkeng dan beberapa anggota DPRD Sidrap lainnya seperti Drs Sutanto dan H Yusuf Latief. Bukan itu saja, sejumlah pejabat lingkup Pemkab Sidrap seperti Asisten Bidang Administrasi umum Siara Barang, Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan Sudirman Bungi, Kepala Dinas PSDA Ir Imran Abidin MSi, Kadis Cipta Karya Dr Haikal Ali SE MTP, Kadis Kesehatan dr A Irwansyah M Kes Kepala RSUD Arifin Nu'mang dr Budi Santoso dan lainnya, sejumlah masyarakat dan tokoh pemuda juga ikut dalam rombongan tersebut.
Rombongan bergerak memasuki kawan hutan dengan medan yang cukup berat dengan menggunakan motor, kebanyakan mengggunakan Motor Cross meski sebagian hanya menggunakan motor biasa.
Berjalan sekitar 20 Kilometer jalanan masih bersahabat, namun saat rombongan sampai pada sebuah sungai dengan lebar sekitar 5 meter, jalanan mulai tidak bersahabat. Puluhan motor terpaksa diseberangkan dengan cara digotong beramai-ramai.
Setelah menyeberangi sungai, jalanan bukan semakin baik, namun sebaliknya makin masuk ke dalam, jalanan semakin sempit, tidak ubahnya seperti jalanan yang diperuntukkan untuk binatang ternak seperti sapi. Namun karena itu jalanan satu-satunya, terpaksa rombongan kembali menantang medan dengan melalui jalanan setapak tersebut.
Baru menempuh beberapa meter setelah penyeberangan dari sungai, sejumlah motor sudah mulai mogok bahkan ada yang tidak bisa dikendarai melanjutkan perjalanan. Sebutlah motor yang dikendarai HM Yusuf Latief, motor milik anggota DPRD Sidrap ini terpaksa haris digotong kembali ke tempat star karena mengalami kerusakan parah, Yusuf latief sendiri melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Setelah berjalan selama beberapa jam, semangat anggota rombongan mulai kendor seiring dengan minimnya perbekalan yang dibawa masuk ke areal hutan. Akibatnya kebanyakan memilih untuk meninggalkan barang bawaan mereka termasuk motor ditinggalkan begitu saja dan memilih berjalan kaki.



Bahkan Bupati Sidrap H Rusdi Masse sendiri tidak mampu mengendarai motor hingga ke perkampungan warga. Hanya ada sekitar lima pengendara yang berhasil menantang jalanan terjal itu hingga ke perkampungan. Selebihnya dievakuasi oleh warga yang ke lokasi dengan mengendarai mobil hartop yang oleh warga setempat disebut mobil kampas.
Sekira pukul 18.00 baru ada rombongan yang tiba di wilayah perkampungan. Bupati Sidrap sendiri baru tiba di Desa Buntu Buanging sekira pukul 19.00 bersama Wakil Ketua DPRD Sidrap A Hindi Tongkeng. Mereka tiba dengan kendaraan angkutan khas yang digunakan warga masuk wilayah rumit tersebut.
Hingga pukul 03.00 dini hari pada hari Jumat, empat mobil yang bertugas mengevakuasi anggota rombongan yang masih berada di lokasi hutan terus bolak balik ke lokasi. Namun hingga pagi hari masih ada sekitar 15 orang yang berada dilokasi termasuk Siara Barang (Asisten Adminsitrasi umum) dan Sudirman Bungi (Staf Ahli Bidang ekonomi dan Keuangan) masih berada di lokasi hutan bersama beberapa orang lainnya.
"Kita berjalan dari pukul 17.00 sore hingga tengah malam, namun baru sekitar pukul 03.00 subuh baru bisa ditemukan tim evakuasi," kisah Yusuf Latif mengenang sulitnya hidup di dalam hutan tersebut.
Menurutnya, anggota rombongan di dalam hutan betul-betul kehabisan bekal, sehingga dia dan beberapa anggota rombongan lainnya sambil jalan mengumpulkan bekas kemasan air mineral kemudian mengumpulkan setetes demi setetes untuk sejedar membahasi tenggorokan mereka yang begitu kering.
Selain itu, saat menjumpai sungai itu tidak disia-siakan untuk minum sepuasnya. Beberapa di antara rombongan itu yang memiliki pengalaman menarik dengan mengumpulkan tetesan air hujan yang tersisa di dedauanan untuk di minum.
"Ini betul-betul pengalaman yang tidak akan kita lupakan hingga akhir hayat,"ungkap para rombongan itu.




Tanpa mengenal lelah, setelah sempat jatuh bangun melewati medan berat hingga harus cedera dibagian kaki, keesokan harinya Bupati Sidrap H Rusdi Masse menyempatkan diri berdialog dengan masyarakat. Dialog sebenarnya sudah berlangsung pada malam hari hanya belum maksimal.
Malam harinya setiba di perkampungan Desa Buntu Buangin Kecamatan Pitu Riase, Bupati Sidrap tidak langsung beristirahat melainkan menyempatkan diri berdialog dengan masyarakat bahkan sempat bermain domino bersama warga.
Dan keesokan harinya di depan Puskesmas setempat orang nomor 1 di Bumi Nene Mallomo itu kembali berdialog dengan warga. Jika semalam hanya bercanda dan berakrab ria dengan masyarakat maka kali ini perbincangan diarahkan untuk rencana perintisan jalan bagi masyarakat di daerah itu.



Hasilnya warga menunjukkan jalan alternatif yang layak dimanfaatkan untuk perintisan jalan. Alternatif tersebut harus melewati wilayah Kabupaten Wajo. Versi warga ini lebih menarik perhatian Bupati Sidrap, ketimbang meneruskan perintisan jalan di lokasi yang telah dilalui rombongan dengan mengendarai motor. Hal itu mengingat selain medan yang rumit dan dianggap tidak logis untuk dirintis, juga jika dipaksakan membutuhkan biaya yang cukup besar dengan hasil yang pasti tidak maksimal.
"Saya pikir tawaran masyarakat ini bagus, Dinas Bina Marga minggu depan (minggu ini,red) sudah harus memantau lokasi, soal wilayah Wajo itu bisa dibicarakan kemudian yang penting medannya layak untuk perintisan jalan,"jelas Rusdi Masse saat berdialog dengan masyarakat.
Tanggapan Rusdi Masse terhadap keinginan warga itu disambut baik oleh warga. Para tokoh masyarakat setempat mengaku siap mendampingi pihak Dinas Bina Marga untuk memantau lokasi yang direncanakan berlangsung minggu ini.
Kehadiran rombongan Bupati Sidrap ternyata tidak semata untuk memantau lokasi perintisan jalan, melainkan juga membawa bantuan untuk pembangunan mesjid. Itu terbukti sebab Ketua DPD II Partai Golkar Sidrap ini juga membantu pembangunan mesjid di Desa Buntu Buangin tersebut.
Pada jumat sore, mantan anggota DPRD Sidrap ini didampingi sejumlah tokoh masyarakat, Ketua DPRD Sidrap A Sukri Baharmanm Wakil Ketua DPRD Sidrap A Hindi Tongkeng dan beberapa pejabat Pemkab Sidrap mengunjungi lokasi yang ditawarkan warga untuk lokasi perintisan jalan.
Bahkan sesekali Rusdi Masse mampir di rumah warga setempat dan disambut dengan gembira oleh warga yang rumahnya dikunjungi oleh Bupati Sidrap.
Bukan itu saja, Bupati Sidrap ini juga memantau Sekretariat kelompok tani di Desa itu. Setelah itu dilanjutkan dengan memantau beberapa proyek jalan dan jembatan dibeberapa titik di wilayah tersebut.
Menjelang magrib pada Jumat pekan lalu, rombongan Bupati meninggalkan Desa Buntu Buangin bersama rombongan. Warga terlihat antusias melepas kepergian Bupati Sidrap yang telah menemani mereka bercengkrama selama hampir dua hari.
"Kita betul-betul terkesan ada bupati yang sudi bersenda gurau dan bahkan bermalam bersama kita, ini kesan manis bagi kami selaku warga di pelosok,"ungkap salah seorang warga dalam bahasa daerah bugis.(*)