Rabu, 08 Juni 2011

Menuai Madu Dari Pahitnya Buah Paria

Oleh : Hamsah

Merasakan pahitnya buah Pare atau lebih familiar dengan sebutan Paria, itulah yang dirasakan Damas, setiap kali akan menggelar pelatihan prajabatan. Pria yang bernama lengkap Damas Ibnu Nashy yang bekerja di Bagian Kepegawaian di kota itu bahkan memiliki kebiasaan unik setiap jelang pelaksanaan prajabatan.
Pada suatu subuh, waktu itu pelaksanaan prajabatan untuk semua golongan yang diterima tahun sebelumnya, Damas menyempatkan diri berlari subuh. Sebuah rutinitas yang memang menjadi kebiasaannya, namun lebih intens lagi dia lakukan saat jelang pelaksanaan prajabatan. Maklum pada setiap pelaksanaan prajabatan dia yang dominan memegang peran mengomandoi dan memberikan gemblengan kepada setiap peserta prajabatan.
Subuh itu, usai Shalat Subuh Damas meninggalkan rumahnya berlari sepanjang jalan poros di kotanya. Saat berlari tidak banyak orang yang ia temui di jalan selain para jemaah yang kembali dari shalat subuh.
Namun pemandangan berbeda ketika Damas melewati sebuah kantor Kodim. Saat Damas berpikir bahwa mungkin baru dia yang berkeliaran dalam kondisi alam yang masih didominasi oleh kabut hitam, ternyata di halaman Kodim puluhan tentara terlihat sedang melakukan senam yang dipandu salah satu diantara mereka. Mungkin komandan batalyon atau sejenisnya. Yang jelas mata Damas takjub melihat kondisi itu.


“Hmm… didikan tentara memang masih yang terbaik, saat orang masih lelap dalam tidur, mereka sudah bangun berolahraga. Tidak salah kalau metode militer memang masih populer dijadikan acuan setiap pelatihan,”pikir Damas yang berhenti sejenak memandang para pasukan tentara itu dan untuk selanjutnya melanjutkan perjalanannya.
Damas terus berlari namun pikirannya tidak pernah lepas dari kekompakan yang dilihatnya dari sikap tentara tadi. Setelah merasa berlari cukup jauh, Damas kembali berlari mengikuti jalan yang telah dilaluinya. Tepat di kantor yang juga adalah asrama Kodim yang dilaluinya tadi, para tentara itu masih terlihat aktif. Namun kali ini justru lebih menambah rasa kagum Damas. Betapa tidak jika pertama ditinggalkan, para tentara berolahraga senam, kali ini Damas menyaksikan mereka sedang kerja bakti.
Rumput-rumput yang sebenarnya belum sebesar rumput yang ada di kantornya sudah dibabat lagi. Tidak ada sampah yang tersisa. Lebih mengagumkan lagi semua kerja dengan semangat tanpa di komandoi. Sebab yang tadinya jadi komandan saat senam, juga ikut aktif bekerja bakti.
“Saya yakin sikap disiplin seperti ini tidak lahir begitu saja, ada proses panjang yang telah mereka lalui. Tapi kalau metode tentara digunakan di prajabatan apa jadinya yah? Ah sudah, kenapa saya yang pusing,”ucap Damas dalam hati.
Setelah cukup lama menyaksikan dan mengagumi sikap para tentara itu, Damas selanjutnya berlari kembali ke rumahnya untuk siap-siap ke kantor. Dari lari subuh hingga ke kantor apa yang ia saksikan tidak pernah mau hilang dari beban pikirannya. Entah kenapa peristiwa itu begitu menjadi perhatiannya.


Sampai di kantor, kejadian yang ia saksikan di asrama tentara itu masih serius menghiasi alam pikirannya. Seolah-olah ia sedang membuat sebuah konsep dengan inspirasi dari apa yang telah ia saksikan dari sikap para tentara itu.
Tidak jelas apa yang Damas pikirkan. Namun apa yang ia saksikan itu terlihat mengurangi konsentrasinya terhadap pekerjaan sehari-harinya. Bahkan pemikiran itu terbawa hingga ia pulang kantor.
Saat pulang kantor, Damas tidak terus ke rumahnya seperti biasa. Damas menyempatkan diri singgah di pasar untuk membeli buah paria. Cukup banyak buah paria yang ia beli. Sesampai di rumah, buah paria itu diberikan ke istrinya untuk di masak.
Istri Damas sedikit heran dengan pemberian suaminya itu. Ia bertanya-tanya dalam hati, tidak biasanya suaminya makan buah seperti itu.
“Mau dimasak apa pak?,”tanya istrinya.
“Masak tumis saja,”jawabnya.
“Tumben, mau makan buah pahit kayak begini pak,”Tanya istrinya lagi yang dari tadi bertanya-tanya dengan sikap aneh suaminya itu.
“Kata orang, itu obat, jadi saya coba untuk terus menjaga kondisi kesehatan,”sambut Damas beralasan, namun sebenarnya dari lubuk hatinya ada hal yang ia pendam.
Sebenarnya Damas hanya ingin melukiskan perasaannya dengan buah-buahan itu. Ia berencana mengkonsumsi buah paria itu hingga masa prajabatan bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di daerahnya selesai.


Akhirnya tanpa terasa waktu prajabatan itu tiba. Waktu yang bagi Damas ia merasakan pahitnya paria melebihi yang ia makan tiap harinya. Pahit ketika ia harus menghukum para peserta prajabatan yang melanggar peraturan.
Saat waktu itu tiba, Damas tiap hari tidak pernah alpa membeli buah paria. Buah yang ia nikmati setiap hendak ke menjalankan aktifitasnya dan terutama pada malam hari. Tidak ada yang diberi tahu tentang alasan dia sebenarnya menkonsumsi paria tersebut. Yang jelas ia memendam perasaan yang dalam saat mendampingi para peserta prajabatan. Suasana yang digambarkannya seperti rasa paria yang ia nikmati itu.
Suatu subuh, Damas seperti biasanya datang lebih awal di lokasi tempat berkumpulnya peserta prajabatan. Tepatnya di sebuah Mesjid besar di kota itu. Kebetulan halaman mesjid itu mendukung untuk kegiatan baris-berbaris bagi peserta.
Seperti biasanya setelah Shalat Subuh, para peserta di perintahkan baris berbaris. Setelah itu dilakukan pengecekan daftar hadir untuk mengetahui kuantitas kehadiran dan siapa-siapa peserta yang tidak hadir saat itu.
Setelah melakukan pengecekan, para peserta prajabatan diperintahkan untuk melakukan agenda rutin seperti lari subuh dan senam. Namun saat senam sedang berlangsung Nampak tiga peserta yang muncul dari arah samping barisan. Spontan Damas yang melihat hal itu, langsung seolah menelan buah paria. Pahit dan tidak enak di tenggorokan, namun harus tetap ditelan.

Begitulah Damas melewati suasana hatinya. Dari lubuk hatinya, ia tidak tega memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar aturan. Namun di sisi lain tuntutan pendidikan disiplin yang harus ia terapkan. Tidak ingin gagal, rasa simpati terhadap sikap disiplin tentara yang pernah ia saksikan menjadi bayang-bayang dan memberikan inspirasi bagi dirinya untuk tetap menempuh langkah-pangkah tepat meski harus menghukum para peserta prajabatan itu.
“Yang terlambat itu silahkan maju ke depan,”teriaknya. Kontan tiga peserta yang tadinya terlambat langsung maju di depan.
“Sekarang pegang telinga. Trus kengkreng,”perintahnya.
Tiga peserta yang terlambat tadi langsung mengikuti instruksi tersebut. Bukan itu saja mereka juga diperintahkan untuk berteriak tidak akan terlambat sebanyak 50 kali dihadapan peserta lain.
“Masih mau terlambat?,”
“Tidak pak,”sahut ketiganya kompak.
Tidak ada pertanyaan penyebab keterlambatan mereka dari Damas. Seolah Damas sudah paham, bahwa pertanyaan itu justru akan memanjakan para peserta dengan membuat alasan-alasan yang bisa mengundang simpati.
“Disiplin tidak hadir dari sikap cengeng. Jika semua aparatur pemerintah cengeng dan pintar mengumbar alasan, entah bagaimana tugas-tugas aparatur ke depan,”pikir Damas dalam hati.
Suara Damas begitu tegar saat memberikan instruksi bahkan ketika menghukum. Ia cukup sempurna menyembunyikan suasan hatinya yang sebenarnya galau ketika harus berhadapan dengan peserta yang bandel. Namun ia tetap berpikir, bahwa sepahit apapun, itu telah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Bahkan ia merasa kesalahan paling besar ketika pasca prajabatan tidak ada perubahan sikap yang dialami para peserta prajabatan.
Damas sendiri ingin menepis anggapan bahwa kegiatan itu hanya formalitas belaka. Sehingga bisa saja ia bermasa bodoh membiarkan para peserta prajabatan berbuat semaunya. Namun substansi kegiatan tetap menjadi targetnya. Meski Damas sadar bahwa sikap disiplin yang ia kagumi dari para anggota TNI tidak lahir dari sebuah gemblengan singkat seperti yang ia laksanakan bagi para CPNS yang akan memasuki dunia PNS secara utuh, namun Damas tetap berharap ada hasil memuaskan dari pelatihan yang diselenggarakan itu.

Dengan pemikiran itu, tidak hanya saat latihan senam dan lari pagi Damas kerap menghukum peserta. Di ruang kelas Damas juga tetap berlaku tegas. Tidak ada yang boleh bermain-main dengan peraturan yang telah ditetapkan.
“Ingat apa yang kami lakukan ini, semua demi kebaikan saudara. Kami yakin dari pahit getirnya pelatihan ini, ada madu yang akan dihasilkan setelah kegiatan ini,”ungkap Damas pada sebuah kesempatan di ruang kelas. Saat itu, Damas melihat para peserta banyak yang kurang disiplin, ada yang telat ikut pelajaran, ada yang keluar masuk ruangan dan ulah aneh lainnya.
Damas tidak menggertak. Namun ungkapan Damas itu nampaknya dipahami oleh peserta sebagai bentuk teguran. Sehingga setelah ungkapan itu diucapkan Damas, para peserta mendadak duduk terdiam. Tidak ada yang berani berbisik-bisik. Sebab mereka sadar jika dengan nada sindiran seperti itu, peserta belum sadar juga, maka seperti biasanya mereka akan dipersilahkan keluar dari ruangan. Itu yang paling mereka takuti.
Melihat peserta sudah duduk terdiam, Damas melanjutkan kata demi kata untuk memberikan pencerahan. Sikap Damas yang tegas ini menjadikan Damas lebih disegani oleh peserta prajabatan dibanding yang lainnya. Akibatnya pada setiap kegiatan ketika Damas yang hadir selaku pendamping, maka di kelas itu tidak ada yang berani bermain-main. Damas sendiri kerap berkeliling dari satu kelas ke kelas lain untuk melakukan pemantauan.
Damas memang yang paling banyak memegang andil dalam kegiatan prajabatan ini. Maka cukup beralasan jika Damas selama masa prajabatan itu menkonsumsi buah paria sebagai cambuk.
“Jika tidak ada perubahan sedikitpun bagi peserta prajabatan ini, yang gagal saya. Makanya saya harus melawan perasaan saya. Tak tahan rasanya memarahi apalagi menghukum mereka,”gumam Damas dalam hati pada suatu siang. Ketika para peserta prajabatan sedang beristirahat dan makan siang.
Tiada terasa waktu hampir sebulan telah berlalu. Damas sedikit legah. Bebannya selama kegiatan itu berlangsung akan berakhir. Jelang akhir kegiatan Damas mulai lebih dekat dengan peserta. Sejumlah saran-saran untuk memunculkan kebersamaan sesama peserta dia ajukan, mulai dari sumbangan mesjid dan panti asuhan hingga kegiatan malam ramah tamah.

Pada malam ramah tamah permohonan maaf tidak hentinya keluar dari mulut Damas. Puncaknya pada acara penutupan. Damas betul-betul menjadikan ajang penutupan itu sebagai momen untuk memohon maaf. Seolah telah berbuat kesalahan yang besar. Namun setegar apapun Damas. Ia tetap manusia biasa yang punya rasa sedih dan haru. Sehingga bagaimanapun ia menahan rasa haru itu, setetes air mata sempat menyeruak dari kelopak matanya. Meski tidak disaksikan oleh peserta, namun air mata itu menjadi saksi bahwa Damas juga memiliki perasaan haru yang teramat dengan berakhirnya kegiatan itu.
Suaranya sedikit serak saat membacakan puisi ciptaannya. Ia galau dengan perasaan bersalahnya. Namun dengan berbesar hati dengan berusaha menahan rasa sedihnya puisi itu ia tuntaskan. Namun tetap saja suara dan air matanya membuat Damas tidak bisa membohongi para peserta ia juga merindukan kebersamaan, canda tawa yang mereka lalui bersama.
Masa itu telah berlalu. Para peserta kembali ke tempat kerja masing-masing. Para peserta mungkin sudah legah dengan berakhirnya kegiatan prajabatan itu. Namun tidak begitu bagi Damas. Buah paria yang ia konsumsi belum ia akhiri. Ia masih penasaran ingin melihat hasil gemblengannya di prajabatan.


Pagi-pagi sekali, Damas sudah ke kantor. Di jalan ia sengaja memperlambat kendaraanya. Bahkan ia sengaja memutar ke beberapa kantor instansi di daerahnya. Ada senyum menghiasi bibirnya ketika dijalan, dari dalam kendaraan roda empat yang ia gunakan terlihat pengendara berpakaian dinas lengkap, satu per satu ia kenal. Mereka adalah orang-orang yang selama ini bertatap muka dengannya di ruang kelas prajabatan.
Damas memperhatikan jam tangannya. Waktu apel pagi masih lama. Ia kembali menempuh jalan lain. Sebuah jalan yang juga melewati beberapa instansi pemerintah. Lagi-lagi senyum merekah dari bibirnya. Sebab dibeberapa halaman kantor pemerintah yang ia lalui, kembali ia melihat orang-orang yang pernah ia ceramahi bahkan bentak sudah ada di halaman kantor menunggu waktu apel pagi.
Puas menyaksikan itu semua, Damas meneruskan perjalanannya ke kantor tempat ia bekerja. Kebetulan bagian kepegawaian tempatnya bekerja satu lokasi dengan kantor pemerintah daerah setempat.
Di tempat ini, lagi-lagi Damas merasa legah, meski belum banyak pegawai yang datang, namun yang menunggu dilokasi apel juga orang-orang yang telah menelan potongan mentimun mentah dengan sambel pedasnya di prajabatan dulu.
“Hufff..alhamudulillah…akhirnya paria yang saya makan tiap hari membuahkan manisnya madu. Semoga ini tetap bertahan,”harapnya. Wassalam
***********