Selasa, 12 Juli 2011

Nek Ineng Dan Gubuk Reotnya

Oleh : Hamsah

Suasana kota pada sore hari itu terlihat ramai, dibeberapa ruas jalan terlihat kerumunan muda-mudi, ada yang bercanda ada juga yang bermain. Di sebuah ruas jalan sekelompok lelaki sedang mengayuh sepeda mereka. Seragam yang mereka gunakan menunjukkan bahwa mereka sedang berolahraga sore. Tidak ketinggalan para ibu-ibu terlihat bersantai ria diteras rumah mereka.
‘Tik-tik-tik’ sebuah bunyi merdu keluar dari sebuah alat mungil yang dipegang seorang pengendara sepeda yang terlihat keluar dari satu lorong ke lorong yang lain. “Somay” tertiak seorang bocah yang langsung membuat pengendara sepeda terhenti. Sang bocah menyodorkan uang seribuan kemudian si pengendara menyerahkan tusukan beberapa pentolan somay. Usai memberikan setusuk somay pada bocah tadi, si pengendara sepeda langsung beranjak sambil membunyikan alat kecil di tangannya.


Sebagaimana lazimnya kota, meski tidak terdapat gedung pencakar langit, tapi hampir di semua sudut kota dihiasi bangunan mewah. Di pusat perkotaan kondisi bangunan cukup padat, hampir tidak menyisakan ruang kosong untuk tempat tumbuh pepohonan apalagi untuk areal perkebunan.
Takjub mungkin saja akan dirasakan para pengunjung kota saat bertamu di kota ini. Kondisinya yang damai dengan bangunan yang teratur menjadi ciri khasnya. Namun itu akan sirna ketika mata tertuju pada sebuah gubuk yang berdiri di sela-sela rumah besar dan bangunan kantor.
Tidak jauh dari bangunan Kantor BUMN di kota itu, terlihat sebuah gubuk yang hampir roboh. Gubuk ini dihuni seorang perempuan paroh bayah. Yang pada sore hari itu perempuan tua itu terlihat duduk terpaku. Nek Ineng, begitu warga sekitar memanggilnya. Penglihatannya yang agak terganggu membuat dia tidak bisa menyaksikan kondisi sekitarnya secara terang benderang. Termasuk bangunan besar persis berada di dekat gubuknya.
Entah apa yang dia pikirkan pada sore hari itu. Yang jelas raut muka dengan sorot mata yang sayu, menunjukkan penderitaan hidup yang ia alami. Hidup sebatang kara di gubuk reot yang hampir roboh. Sudah pasti, Nek Ineng tidak berpikir untuk bisa kaya, atau berpikir bagaimana ia bisa membangun rumah seperti tetangganya.


Nek Ineng bersih dari membicarakan kekurangan tetangga. Selain karena dia tidak memiliki kelebihan dibandingkan tetangganya, dia juga tidak memiliki teman untuk ngerumpi.
Lantas apa yang dia pikirkan di sore hari, dimana para tetangganya yang rata-rata mendiami bangunan mewah dengan leluasa bisa menikmati somay yang lalu lalang di sekitar tempat tinggalnya? Nek Ineng ternyata sejak beberapa hari ini belum pernah makan. Untuk menjanggal perutnya yang keroncongan, hanya ia isi dengan air putih. Keterbatasan fisik yang dialaminya dengan kondisi usia yang memang sudah lanjut, membuat Nek Ineng tidak lagi bisa berbuat apa-apa.
Selama ini Nek Ineng hanya bisa makan, jika ada tetangganya yang bermurah hati memberikan makanan untuknya. Kebetulan selama hampir seminggu ini, tetangganya tidak memberinya makan lagi. Mungkin lagi sedang ke luar kota.
Meski tidak makan hampir seminggu, tidak ada kata keluhan yang keluar dari mulutnya. Sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang diberikan keluasan rezeki, jangankan untuk makan untuk membeli barang mewah mereka bisa, tapi keluhan masih sangat sering terlontar dari mukut mereka. Tidak ada uanglah, belum gajian lah dan berbagai keluhan lainnya.


Tegar. Yah Nek Ineng memang perempuan perkasa yang tegar. Kondisi perutnya yang selama hampir sepekan tidak terisi tidak membuatnya luluh lantah meratapi nasibnya. Bahkan jika di tanya pun, ia tetap mengaku bahwa dia tidak pernah kekurangan makan.
“Alhamdulillah,”tiba-tiba kata-kata itu mengalir dari mulutnya, sembari menaiki gubuk yang tak ubanya seperti kandang ayam, bahkan lebih jorok dari kandang ayam. Nek Ineng mendiami gubuk dengan atap dari daun nipa. Tiang penyanggah bukan balok melainkan batang kayu bundar yang dibuat seadanya. Dibagian tengah gubuk Nek Ineng mengalasi gubuknya dengan bambu. Itu pun sudah banyak yang lapuk sehingga terlihat sudah berlubang disana-sini. Tidak ada rak pakaian, jangankan rak pakaian, pakaian Nek Ineng hanya lima lembar dengan yang di badan itupun sudah sangat usang.
Tidak ada kasur, yang ada hanya tikar yang juga sudah bolong. Dibagian lain gubuknya, tergantung dua buah panci yang biasa dia gunakan untuk memasak jika kebetulan ada yang memberinya beras. Untuk memasak, Nek Ineng biasanya memanfaatkan ranting-ranting kayu yang ada disekitar gubuknya. Jika hujan deras, atap dedaunan yang dugunakan menutupi gubuk itu tidak mampu menahan derasnya hujan, kecuali panas terik, atap itu sedikit bisa membantu.
Nek Ineng tinggal seorang diri selama puluhan tahun digubuk reot itu. Dulu ia pernah memiliki seorang suami dan anak. Tapi orang yang pernah dekat dan mendampingi hidupnya lebih dulu menghadap Tuhan. Untuk menyambung hidup, saat semua orang yang ia sayangi meninggal, Nek Ineng pernah berjualan di sebuah sekolah. Namun dengan keterbatasan fisiknya saat ini, Nek Ineng tak lagi bisa berbuat apa-apa selain menunggu sang maut melepeskannya dari belenggu derita dunia.


Entah apa yang ia syukuri sore itu. Padahal belum ada sesuap nasi pun yang masuk ketenggorokannnya. Itulah Nek Ineng. Sosok yang dilupakan oleh masyarakat di kota itu. Tidak ada yang mau tahu keberadaannya. Tidak ada yang mau pusing bahwa kekayaan yang mereka sandang karena keberadaan orang yang hidup miskin seperti dia.
Nek Ineng memang perempuan rentah yang hidup sangat miskin, tapi sikapnya menunjukkan bahwa dia lebih kaya dari para pemilik perusahaan besar. Nek Ineng mampu berucap syukur di tengah derita kemiskinannya, disaat perutnya dilanda kelaparan.
Nek Ineng menjadi potret kekayaan hakiki. Disaat si kaya masih sibuk mencatat daftar kebutuhannya yang masih sederet panjangnya, Nek Ineng malah bangga dan syukur telah memiliki gubuk yang nyaris roboh.
Tidak ada rasa iri, dengki terhadap prestasi ekonomi yang diterima para tetangganya. Ia hanya kagum dan syukur dengan ketiadaan yang ia terima. Mungkin Nek Ineng bersyukur tidak harus mencatat sederet kebutuhan hidup yang tidak ada hentinya dengan serba keterbatasan yang ia alami.
“Alhamdulillah, ya Allah,”ucap Nek Ineng pada suatu sore sambil tersenyum memandangi bangunan kokoh yang mengapit gubuknya. Entah apa makna senyuman itu. Yang jelas senyuman itu seolah mengejek para pemilik bangunan kokoh itu yang miskin hati dan miskin iman. Atau ia mengejek para pemilik gedung kokoh itu yang sangat sulit berucap syukur seperti dirinya. Ataukah ia tersenyum lantaran para tetangganya tidak melihat keberadaannya. Entah.

Nek Ineng seolah ingin berkata bahwa ketenangan jiwa dan kebahagiaan untuk mengetahui besarnya nikmat Tuhan tidak mesti dengan mendiami gedung mewah tapi lupa berucap syukur bahkan lupa bahwa ada orang miskin seperti dirinya yang hidup di sekitar gedung mewah yang butuh santunan. Senyuman Nek Ineng tak ubahnya seperti sindiran kepada para pemilik gedung mewah yang telah mati mata hatinya dan tidak lagi mau peduli terhadap orang lemah seperti dirinya. Nek Ineng mungkin ingin bilang bahwa orang kaya yang sebenarnya kaya adalah mereka yang mau berbagi rezeki dengan mereka yang papa.

Sadarlah Banyak Nek Ineng Lain disekitar kita Termasuk di Pangkajene.