Rabu, 30 November 2011

Aku Hanya Ingin Dipercaya

Karya : Hamsah

Mungkin Semua Sudah Terlambat
Saat aku memilih jatuh kepelukan orang lain
Saat kau masih bingung dengan pilihan
Saat kau masih dalam keraguanmu

Mungkinkah semua sudah terlambat
Menyulam rasa tidak percaya di hatimu
Merajuk kasih yang goyah


Jika pun telah terlambat
Semua karena rasa tidak percayamu
Semua karena curigamu
Semua karena hatimu buta melihat kasih sayang ku

Namun jika belum terlambat
Aku hanya ingin di percaya
Aku hanya ingin kasih berbalas sayang
Aku hanya ingin kita hidup untuk sebuah masa depan



Yah ….
Aku hanya ingin dipercaya
Itu harapan ku sejak dulu
Sejak dua hati bermula kita satukan
Namun mungkinkah rasa percaya itu ada?

Untuk mengubah gundah jadi damai
Untuk memulai masa depan baru
Untuk membangun pondasi bahagia
Bersama sang buah hati

Penantian Panjang

Karya : Hamsah


Suara azan subuh menggema dari mesjid-mesjid terdekat. Membuat Anti terjaga dari tidur. Hujan yang turun sejak malam membuat cuaca subuh itu sangat dingin. Namun cuaca dingin yang menusuk hingga ke tulang itu tidak menghalangi Anti untuk bangun Shalat Subuh. Dari pembaringan Anti langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Perlahan Anti membasuh bagian tubuhnya dengan air wudhu. Dingin sudah pasti, namun bagi Anti nampaknya itu sudah menjadi hal yang biasa. Tidak ada sedikitpun rasa kedinginan yang terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Allahu akbar,”begitulah Anti memulai Shalatnya. Meski hanya dua rakaat, namun Anti begitu lama dalam menjalankannya. Seolah ia meraskan perasaan damai ketika sedang tafakkur dalam shalatnya. Waktu paling lama biasanya Anti lewatkan saat sedang berdoa. Bahkan tidak jarang ia menangis dalam doanya. Entah apa yang hadir dalam pikirannya ketika berdoa itu sehingga ia sangat sering menangis. Mungkin itulah yang disebut khsusu’.
Di luar rumah angin disertai hujan masih turun. Meski hujannya tidak sederas hujan pada malam harinya, namun gumpalan embun yang menyelimuti alam membuat suasana subuh terlihat sangat gelap. Hanya cahaya lampu di ruang tamu yang sengaja dinyalakan yang membuat suasana menjadi terang.
Usai menunaikan Shalat Subuh, Anti tidak kembali ke kamar tidur. Ia masih terlihat duduk sambil membaca beberapa ayat Al-Quran. Saat kegelapan mulai bergeser, dan pepohonan yang tumbuh di halaman rumah Anti mulai jelas terlihat, Anti bergegas membuka jendela rumahnya. Setelah itu, perlahan ia keluar dan duduk di sebuah kursi di teras rumahnya.
Matanya tertumpu pada bunga-bunga yang mulai mekar di halaman rumahnya. Butiran-butiran air masih terlihat jelas di dedaunan dan pada bunga yang sedang mekar itu. Seulas senyum merebak dari bibirnya. Senyum yang membuat setiap yang melihatnya akan kagum dengan kecantikannya. Di usianya yang sudah menginjak 30 tahun tidak mengurangi tanda kecantikan di wajahnya. Itu juga menandakan bahwa diusia remajanya, Anti merupakan gadis yang sudah pasti diidolakan pria sebayanya.
Pagi itu, Anti nampaknya memang hendak memperlihatkan senyum pada alam yang mulai melepas kegelapan menuju pagi yang cerah. Matahari pun mulai menampakkan diri seolah menyambut senyum Anti yang sejak pagi sudah memandang alam sekeliling dari teras rumahnya. Terpaan sinar matahari itu membuat wajah Anti makin jelas terlihat. Bahkan sebuah tahi lalat kecil yang berada dekat hidungnya juga terlihat. Namun dibalik wajah yang berbinar pagi itu, disudut lain wajah Anti juga memberikan isyarat lain pula. Sebuah isyarat bahwa ada sesuatu yang berat sedang ia pikul.
Puas menghibur diri menyaksikan pergantian dari kegelapan ke suasana terang benderang, Anti kemudian bergegas menuju ruang dapur. Perlahan ia membuka kulkas yang berada dipojok kanan ruang dapur itu. Diperhatikannya segenap isi kulkas, kemudian memilih bahan untuk menu sarapan paginya hari itu sebelum ke kantor.


Anti memang bekerja di salah satu instansi pemerintahan di daerahnya. Dan sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi, sebelum berangkat ia memilih menu sesuai seleranya. Pagi itu Anti memilih menu mie goreng campur telur. Dengan cekatan, ia kemudian menyelesaikan masakannya. Kali ini ia memasak tidak terlalu lama, sebab ia hanya memasak untuk satu porsi saja. Biasanya ia memasak untuk dua porsi, ketika suaminya ada di rumah. Namun pagi itu ia memang hanya seorang diri. Tiga hari yang lalu suaminya berangkat ke luar daerah untuk urusan bisnis.
Suami Anti memang seorang pebisnis antar daerah. Kerjanya mengantar barang-barang hasil bumi dari daerahnya, kemudian dari daerah tujuan ia juga membawa barang yang menjadi kebutuhan masyarakat di daerahnya. Bahkan kebanyakan barang yang ia bawa dari daerah tujuan bisnisnya itu adalah pesanan dari para pedagang di daerahnya.
Usia pernikahan Anti dan suaminya sudah berlangsung tiga tahun. Namun hingga saat ini, ia belum juga mendapatkan momongan. Berbagai cara telah ditempuh, berobat ke dokter hingga berobat tradisional sudah dilalui, namun belum juga ada hasil. Anti sendiri juga sudah tidak sabar ingin mendapatkan momongan, namun saat ini impian itu masih sebatas penantian yang entah kapan Tuhan berikan. Padahal setiap habis shalat, ia tidak pernah berhenti berdoa agar segera dapat keturunan.
Penantian Anti bertambah, ketika ia pun hampir setiap saat harus sabar berada dalam kesendirian selama satu sampai dua minggu ditinggal suami. Saat itu tentu saja Anti lagi-lagi menambah daftar penantian dalam buku diari kehidupannya. Untuk menghibur diri itulah, sehingga Anti setiap pagi berusaha bersahabat dengan alam sekitarnya. Bersahabat pada bunga-bunga dan pepohonan di halaman rumahnya dan berteman dengan proses pergantian malam menjadi pagi, bahkan bersahabat dengan rasa kesepian yang menghampirinya hampir tiap waktu.


Usai sarapan pagi, Anti bergegas mandi kemudian mengenakan pakaian kantor dan selanjutnya langsung menuju kantor. Di kantor, Anti tetap bekerja dengan baik. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa dalam batinnya sedang tersimpan beban yang sekuat tenaga ia pikul. Bagi Anti, nampaknya suasana kantor juga ia manfaatkan untuk menghibur diri. Muka ceria tetap ia tampakkan pada teman-teman kantornya. Tak sedikitpun ada wajah murung ia tampakkan, kecuali rasa lelah ketika habis menyelesaikan pekerjaan kantor yang tiap hari tidak pernah berhenti. Bahkan Anti pun nampaknya sudah menyatu dengan pekerjaannya, dan menjadi penghibur baginya.
“huff…patungan beli gorengan yuk,”ajak Anti pada suatu hari. Saat itu ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ajakan Anti langsung ditanggapi baik oleh teman-temannya yang lain.
Begitulah keseharian Anti. Sikapnya yang periang, membuat teman-teman kantornya akrab dengan dia. Namun meski akrab, tidak ada satupun yang tahu bahwa dibenaknya menyimpan pengharapan yang membuat hati kecilnya kerap menjerit.
Ketegaran yang dimiliki Anti, membuat setiap persoalan pribadi dan keluarganya tidak pernah diketahui teman sekantornya. Meski teman dekatnya kekalipun. Ia memang berbeda dengan beberapa temannya yang seolah tanpa beban menceritakan privasinya pada orang lain.
Suatu hari, jam menunjukkan pukul 10.00 waktu setempat. Saat itu Anti sedang serius berada di depan kumputer menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba hand phone miliknya bordering. Tidak biasanya ia kaget mendengar deringan handphone miliknya. Perlahan tangannya menggapai Handphone yang berada berada disamping computernya. Rasa was-was menghampirinya ketika sedang memencet tombol warna hijau di handphonenya sebagai tanda menerima panggilan tersebut.
“halo, selamat siang,”sapa suara dari Handphone.
“Siang juga, dengan siapa yah?,”Tanya Anti penasaran.
“Ini dari keluarga kamu dari Provinsi Seberang,”jawab suara tersebut memperkenalkan diri. Suara tersebut berasal dari Provinsi Seberang, sebuah provinsi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kota Anti tinggal. Provinsi yang selain bisa dijangkau melalui jalur udara, juga bisa dengan jalur darat. Kota tujuan bisnis suami Anti selama ini.


“ohhh… kenapa yah, ada kabar apa,”Tanya Anti.
“Anu, sebenarnya saya tidak ingin menyampaikan kabar ini ke kamu, tapi selaku keluarga, saya juga tidak ingin menyembunyikan hal ini. Beberapa hari lalu, kami mendapati suami kamu dengan seorang perempuan. Tapi, awalnya kami tidak mau berprasangka buruk, namun lama-lama kami mulai curiga, suami kamu memiliki hubungan tertentu dengan perempuan itu. Kami juga tidak mau memastikan, tapi baiknya kamu yang tanyakan langsung ke suami kamu, atau apalah tindakan kamu yang jelas disini kami ada curiga dengan dia,”jelas suara dari balik telpon itu panjang lebar.
Mendengar kabar itu, Anti terasa disambar petir. Hampir saja ia teriak. Namun ia tetap langsung bisa menguasai dirinya. Perasaannya berkecamuk hebat mendengar kabar itu. Namun sekuat apapun Anti, tetap saja ia seorang perempuan yang memiliki perasaan yang peka. Air matanya tak mampu ia bendung. Namun tetap saja ia tidak ingin memperlihatkan suasana hatinya saat itu.
Tidak ada jawaban dari mulut Anti mendengar kabar itu. Ia justru langsung mematikan handphonnya tanpa basa-basi lagi dan langsung berlari ke WC yang tidak jauh dari ruangannya. Cukup lama ia dalam WC. Di tempat inilah ia melepas perasaanya. Dibiarkannya tetesan air mata membasahi pipinya. Ingin rasanya ia berteriak histeris di dalam WC itu. Tapi itu urung dia lakukan. Ia hanya menghela nafas dalam-dalam, kemudian membasuh mukanya untuk menghilangkan jejak bahwa ia baru saja menangis.
Sejurus kemudian ia sudah berada kembali di kursinya, berhadapan dengan kumputer. Tapi kali ini, tak ada yang bisa ia perbuat kecuali melamun. Memikirkan kabar yang baru saja ia terima. Lama termangu seperti itu, Anti mulai khawatir, teman-teman kantornya akan banyak bertanya macam-macam jika melihat dirinya terus melamun. Berpikir sejenak, Anti akhirnya menemukan jalan keluar.
“Ida, saya istirahat duluan yah, lagi kurang fit. Kepalaku agak sakit ini. Kalau ada yang cari Tanya pulang istirahat,”pesan Anti kepada temannya, Ida.
“Iya, silahkan. Semoga cepat baikan,”jawab Ida, temannya.
Mendengar jawaban temannya itu, Anti kemudian bergegas meninggalkan ruangannya dan terus kembali ke rumahnya. Sesampai di rumah ia langsung menghembaskan tubuhnya di atas pembaringan. Mukanya dibenamkan ke bantal sambil menangis sejadi-jadinya.
“Uaaaaahhhhhhhh,”teriak Anti, namun suaranya tidak sampai menggema keluar rumah sebab sudah diantisipasi dengan bantal yang sejak tadi menutupi seluruh wajahnya.
“Tuhan apa salahku, kenapa cobaanmu begitu berat. Kuatkan Aku menghadapinya ya Rabb,”doa Anti dalam kepedihan hatinya.


Hari itu, sebenarnya Anti sudah genap seminggu ditinggalkan suaminya. Artinya saat kabar yang menyakitkan itu datang, adalah saat ia sedang dalam penantian, menanti sang suami datang, melepas rasa sepi yang sudah ia pendam selama seminggu itu. Namun bukan sang suami yang datang, tapi justru kabar buruk yang tiba meluluhlantakkan perasaanya.
Pikiran Anti terus menerawang. Posisi badannya terus berganti, tak ubahnya sedang berguling-guling di atas ranjangnya. Pikirannya seolah tidak berfungsi saat itu. Hanya hayalannya yang seolah hendak menemui suaminya yang saat itu tidak ia ketahui posisi pastinya. Anti hanya mengetahui bahwa suaminya sedang keluar kota untuk urusan bisnis.
Setelah merasa sedikit tenang, Anti perlahan mengeluarkan handphone miliknya. Dengan perlahan pula, dicarinya nomor handphone milik suaminya yang tersimpan dalam memori handphonnya. Selang beberapa saat, ia pun terhubung dengan suaminya.
“halo pa,”sapa Anti dengan suara yang berusaha dibuat tegar. Anti berupaya bersuara seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.
“Yah..halo juga ma…apa kabar,”jawab suaminya.
“Baik pa..saya Cuma mau tanya kabar papa disana. Kapan balik pa ? saya sudah kangen, sudah seminggu papa tidak pulang,”Tanya Anti bertubi-tubi.
“Mudah-mudahan urusan bisnis disini cepat selesai, insya Allah dua tiga hari ini papa pulang. Sabar yah ma..,”sahut suami Anti lagi.
“Jangan nakal di kampung orang yah pa… atau jangan-jangan papa ada simpanan disitu?,”Tanya Anti dengan nada bercanda. Saat mengutarakan ucapan itu, sebenarnya perasaan Anti berkecamuk. Ia takut tidak bisa mengendalikan diri sehingga membuat suaminya curiga atau malah tersinggung.
“ah mama ada-ada saja..tidak mungkinlah, saya kesini demi mama. Tidak mungkin saya berbuat macam-macam,”jawab suaminya meyakinkan.
“Janji yah pa…awas kalau macam-macam,”
“Iya ma, janji,”
“ingat cepat pulang klo urusan sudah selesai,”pinta Anti penuh harap.
Suasana hati Anti sedikit lega setelah berbicara dengan suaminya. Apalagi suaminya tetap menjawab telponnya dengan nada penuh kasih sayang. Namun tetap saja, kabar dari keluarganya itu menghantui perasaannya. Namun ia juga tidak mau gegabah menanyakan kepada suaminya. Takut justru memperburuk suasana. Anti memilih memendam perasaan hatinya dan tetap menunggu sampai suaminya kembali.
Tiga hari berlalu sejak Anti menelpon suaminya. Itu berarti sesuai janji suaminya, hari itu ia akan kembali ke rumahnya. Kembali ke sisi Anti yang sudah sepekan lebih terus menanti kedatangannya. Menanti kedatangan suaminya, Anti dihantui kecemasan. Ia cemas harus bersikap seperti apa menghadapi suaminya. Ia juga cemas memikirkan jalan terbaik untuk menanyakan langsung soal kabar suaminya yang sedang menjalin hubungan dengan wanita lain di kota tujuan bisnisnya selama ini.
Seperti biasa, Anti tetap bekerja dengan tekun di Kantornya. Hanya matanya yang sesekali melirik ke handphone yang sengaja ia letakkan dekat komputernya. Setiap kali melirik handphone tersebut ada harapan tergambar dari wajahnya. Harapan handphonenya berdering. Hari itu Anti memang sedang menunggu telpon suaminya. Apakah ia jadi pulang atau tidak. Dan jika betul ia pulang hari itu, jam berapa tiba di rumah. Pertanyaan itu memenuhi benaknya.
Namun hingga jam kantor selesai, telpon yang di tunggu tidak juga datang. Memang beberapa kali handphonenya berdering selama jam kantor. Namun yang menelpon bukan sang suami,melainkan teman dan keluarganya.
Setelah selesai apel pulang, Anti langsung kembali ke rumah, langkahnya lunglai tak bersemangat. Sesampai di rumahnya, ia langsung menghempaskan tubuhnya di kursi tamu. Rasa kecewa mulai menyerangnya.
Ditariknya lagi handphone dari balik kantong bajunya. Perlahan ia mulai memanggil ke nomor suaminya.
“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan,”lagi-lagi suara itu yang ia dengar dari handphonenya. Suara yang sama ketika saat di kantor tadi ia juga berupaya menghubungi nomor tersebut.
Tidak ada yang bisa ia perbuat sepulang kantor. Jika biasanya ia langsung sibuk di dapur untuk persiapan makan malam. Sore itu Anti, hanya duduk lemas. Tidak ada yang bisa ia perbuat kecuali sesekali menghela nafas keras-keras.
*****

Malam makin larut. Tapi mata Anti tak bisa terpejam. Padahal semua lampu telah ia matikan. Jarum jam saat itu sudah menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat. Anti belum juga bisa lelap dalam tidur. Pikirannya masih terus menerawang.
Ketidak jelasan keberadaan suaminya saat itu, membuat ia semakin bimbang. Perasaannya galau sejak siang tadi. Ia mulai berpikir bahwa kabar burung tentang suaminya, nampaknya betul. Kecurigaannya berasalan, sebab baru kali ini suaminya sangat sulit di hubungi, ini kali pertama pula suaminya tidak pulang tepat waktu.
“Mungkinkah apa yang dikabarkan orang tentang suamiku betul? Oh Tuhan berat rasanya ku jalani hidup ini,”pikirnya. Keyakinan Anti tentang kabar itu semakin besar dengan tingkah suaminya yang sulit di hubungi itu. Meski awalnya ia tetap kurang yakin.
Keesokan Anti tetap bangun amat pagi seperti biasa. Di kantor, Anti juga tetap bekerja seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang menghadapi masalah rumit yang ditunjukkan pada teman kerjanya.
Tiga hari berlalu, belum juga ada kabar tentang suaminya. Menelpon tidak. Di telpon juga tidak pernah tembus. Namun saat sedang asyik bekerja di hari ke tiga suaminya menghilang, tiba-tiba handphonenya berdering. Tidak ada nama yang muncul dari nomor yang memanggil tersebut, menandakan bahwa itu nomor baru. Perlahan Anti menjawab panggilan tersebut.
“halo, dengan siapa,”ujar Anti menyapa lebih dulu.
“saya ma.., saya pinjam Handphone teman. Handphone saya hilang,”sahut suara tersebut.
“ohh papa… dimana sekarang..kenapa belum pulang tidak kasih kabar lagi,”tanya Anti bertubi-tubi.
“maaf ma… urusan bisnis belum selesai, ada masalah sedikit saya upayakan pulang cepat, yang penting urusan sudah selesai,”jawab suaminya.
“iya tapi kapan kepastiannya? Katanya dua tiga hari..sekarang berapa hari lagi,”lanjut Anti mulai menunjukkan rasa kesal.
“Secepatnya lah ma…dua tiga hari lah…sabar saja yah ma…,”jawab suaminya enteng.
“Hmmm itu lagi….saya hanya berharap papa pulang cepat, saya sudah capek menunggu terus,”kata Anti lagi.
“oke… saya upayakan ma…,”janjinya lagi.
“trus kalau mau dihubungi lewat apa? Handphone papa kan hilang,”Tanya Anti.
“nanti saya yang hubungi, rencana saya baru mau beli handphone dan kartu baru lagi,”jawab suaminya lagi.
“Oke saya tunggu,”tutup Anti yang langsung mematikan handphonenya.
Sejak pembicaraan dengan suaminya itu, Anti tidak pusing lagi untuk menghubungi suaminya. Ia mulai pasrah. Ia sudah mulai curiga bahwa suaminya saat ini tidak seperti yang dulu lagi. Ia menilai suaminya sudah bohong kepadanya. Ia sendiri belum yakin bahwa suaminya akan kembali pada hari yang ia janjikan itu.


Hari terus berlalu, Anti masih terus menanti kedatangan suaminya. Namun sejak berbicara dengan suaminya via telpon dua hari lalu, Anti belum pernah lagi dihubungi suaminya. Hingga hari ketiga saat ia masih dalam penantian. Menanti kedatangan sang suami yang sudah sangat ia rindukan. Lagi-lagi handphonenya bordering disaat ia sedang sibuk membuat laporan kantor.
“Selamat Pagi,”sapa suara dari balik telpon seluler.
“Selamat pagi juga,”jawab Anti.
“Ini dengan Ibu Anti?,”
“benar, ini dengan siapa,”
“Tidak penting Ibu tahu siapa saya. Saya hanya mau sampaikan ke Ibu bahwa saat ini suami ibu di tahan Polisi,”
“hah dimana? Terus kenapa di tahan? Tanya Anti tak bisa menguasai dirinya.
Sekujur tubuh Anti bergetar saat mendengar kabar itu. Aliran darahnya terasa terhenti. Jantungnya berdegub begitu cepat. Hampir saja ia ambruk seandainya tidak berupaya menguasai dirinya.
“Ibu jangan khawatir. Tidak perlu panik. Suami ibu ditahan karena kedapatan membawa narkoba. Kalau mau ketemua suami Ibu, datang saja ke Kantor Polres Cipiring,”ujar suara tadi.
Jawaban itu betul-betul menjadi pukulan bagi Anti. Betapa tidak suami yang saat ini sedang ia nanti-nantikan, justru kabar buruk yang datang. Kabar kali ini nampaknya tidak bisa lagi ia bendung. Ia lalu membenamkan wajahnya di meja kerjanya sambil meneteskan air mata. Namun tetap saja, ia tak ingin teman kerjanya melihat dia menangis.
Saat itu Anti merasakan tulang-tulang bagai remuk. Ia bagaikan sedang ditindih batu besar yang bernafas saja ia tak kuasa. Perlahan Anti meraih tissue di mejanya untuk mengeringkan air mata yang tiada hentinya mengalir dari kelopak matanya. Setelah agak kering ia pun mengangkat wajahnya.
“Saya lagi kurang fit, kepala saya sakit. Saya pulang isttirahat dulu. Kalau bapak cari Tanya saya lagi sakit,”ucap Anti kepada temannya Ida, yang kebetulan ada di ruangan itu. Usai pamit tanpa berlama-lama Anti langsung bergegas meninggalkan ruang kerjanya, langsung kembali ke rumahnya.
Se tiba di rumah, Anti langsung menangis sejadi-jadinya. Segala kesedihan hatinya di tumpahkan di atas pembaringan. Setelah melampiaskan kesedihannya. Ia pun menghubungi kerabat suaminya. Hari itu juga Anti bersama seorang kerabat suaminya berangkat ke Polres Cipiring. Sebuah kota yang berjarak sekitar 65 kilometer dari kota tempat tinggal Anti. Anti sendiri tidak habis pikir, suaminya bisa sampai di Cipiring padahal setahunya suaminya lagi berada di Provinsi Seberang.
Setelah beberapa jam diperjalanan, sampailah Anti dan kerabat suaminya di Polres Cipiring. Oleh petugas jaga, Anti diarahkan ke sebuah ruang tahanan yang berada dibagian belakang kantor. Dari jarak sekitar 7 meter, Anti sudah melihat suaminya sedang duduk dengan kaki dilipat dan lutut menghadap ke atas. Wajahnya dibenamkan di atas lututnya. Anti langsung berlari kearah sel dan berdiri tepat di depan jeruji besi.
“paaaaa…..,”teriak Anti.
Suaminya yang mendengar suara itu kaget. Ia tidak menyangka istrinya akan tiba di Cipiring secepat itu. Tidak ada jawaban dari suaminya. Bahkan suami Anti terlihat tiak berani menatap istrinya.
“Paaaa…kenapa bisa begini?,”teriak Anti lagi.
Yang kedua kalinya, suami Anti tetap tidak memberi jawaban. Bahkan ia tidak bergeming dari tempat duduknya. Ada rasa malu yang suami Anti rasakan saat itu. Ia mulai memikirkan bagaimana sikapnya selama ini kepada istrinya hingga akhirnya ia masuk bui.
Setelah minta izin ke petugas jaga, akhirnya Anti diberikan kesempatan berbicara dengan suaminya.
“Maafkan saya ma…selama ini saya telah banyak bersalah sama mama. Saya telah banyak membohongi mama bahkan saya telah berbuat di luar batas. Sehingga saya sampai ke tempat ini,”ungkap suami Anti penuh penyeselan.
Dalam perbincangan itu, suami Anti akhirnya berterus terang tentang tingkahnya selama ini. Tentang kebiasaan buruk yang mebuat ia di tangkap aparat kepolisian, hingga pengakuannya tentang kecurigaan keluarga Anti yang mendapatinya sering bersama perempuan. Semua itu di akui suami Anti.
“Saya ini laki-laki kotor, mungkin saya tidak pantas lagi mendampingi mama….saya siap dengan segala hukuman yang polisi berikan ke saya termasuk hukuman yang mama akan berikan ke saya dengan segala perbuatan saya. Saya pasrah. Saya salah, maafkan saya ma, dan berikanlah hukuman apa pun yang mama mau, termasuk meninggalkan saya jika memang mama sudah tidak sudi bersuamikan orang kayak saya,”ujar suami Anti mengakui segala kesalahannya.
“Sudahlah pa. Yang penting sekarang kita fokus pada kasus yang bapak alami. Soal yang lain itu belakangan. Yang penting sekarang bapak sudah mau jujur dan bertekad mau mengubah sikap,”jawab Anti cukup bijaksana.
“Ia ma,”sahut suaminya malu-malu.
Setelah melalui proses pengadilan. Akhirnya suami anti dijatuhi hukuman kurungan selama 1 tahun 5 bulan. Selama proses pengadilan, Anti tetap setia mendampingi suaminya. Bahkan segala biaya-biaya perkara yang dikeluarkan di tanggung oleh Anti. Ini membuat suaminya makin serba salah.
“Terima kasih ma atas dukungannya, saya janji setelah masa hukuman ini selesai saya akan jadi suami yang baik. Saya tidak akan berbuat hal-hal buruk lagi,”janji suami Anti usai sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Cipiring.
Penantian demi penantian terus menghampiri Anti. Setelah menanti suaminya yang biasanya hanya pergi dalam waktu singkat, Vonis terhadap suaminya makin memperpanjang waktu penantian Anti.
“Suami, momongan…ohhhh…kenapa harus semua dalam penantian,”gumam Anti.

Tamat

NB : Cerita Ini Hanya ilusi Pengarang belaka. Jika ada nama, atau kesamaan kisah dalam cerita ini, itu hanya kebetulan belaka. Terima Kasih.

Rabu, 09 November 2011

Mungkinkah Kau, Akan Bersamaku Selamanya ?

Sajak Buat AE
Karya : Hamsah


Ini tahun ke tiga Sejak bunga cinta mekar di antara kita
Ini tahun ketiga kita melewatkan malam dan siang bersama
Ini tahun ke tiga kita membangun sebuah harapan bersama
Namun di tahun ke tiga ini pula semuanya goyah, bak hendak sirna

Gundah gulana menyerang tak kenal waktu
Menghampiriku disaat siang
Menggangguku di saat malam
Hingga mata tak kuasa terpejam

Nestapa hati datang bertubi-tubi
Angin semilir mengantar kabar tentangmu di suatu waktu
Menyisakan goresan luka dilubuk hati ini
Hingga air mata terus megalir dari ke dua kelopak mata ini

Ku kuatkan hatiku menahan rasa sesak di dada kala itu
Hingga angin semilir justru berubah jadi badai
Badai yang mengabarkan tentang dirimu yang terhempas ke lembah kelam
Sebuah lembah yang aku sangat takut meski hanya membayangkannya

Sukar melukiskan rasa di hatiku saat ini
Pasrah, hanya itu yang bisa kuperbuat
Disaat semua jalan terasa buntu
Di saat bahagia seolah semakin jauh

Aku dihampiri rasa tidak yakin
Mungkinkah kau, Akan Tetap bersamaku Selamanya?
Setelah semua badai berlalu
Ataukah badai hanya akan terus berganti badai
Hingga sang waktu yang memberikan jawaban


Tapi tetap aku akan berada disampingmu
Hingga badai berlalu
Hingga Tuhan menentukan jalan terbaik bagi ku
Dan juga bagi dirimu