Jumat, 20 Mei 2011

Sang Pejuang Yang Terabaikan

Cerpen Cermin Kehidupan, Karya Hamsah



Pagi masih menunjukkan sekira pukul 07.30 waktu setempat, seorang lelaki tua berjalan terseok-seok. Langkahnya yang kelihatan agak sempoyongan menunjukkan bahwa usianya tidak muda lagi. Raut muka kondisi tubuh yang sudah mulai bongkok menandakan si kelaki tua tidak lagi memiliki cukup tenaga untuk bekerja keras.
Tapi itu ternyata adalah pengecualian bagi lelaki yang akrab disapa Allu. Udara pagi masih menyelimuti pusat kantor pemerintahan di kota itu. Namun Allu sudah tiba di kantor pemerintahan, meski dengan kostum yang berbeda dengan para pegawai yang bertugas secara resmi di kantor itu yang datang dengan seragam khasnya.
“Siaaap Grak”, sebuah teriakan dari barisan pegawai yang berkumpul secara teratur di depan kantor pemerintahan itu. Suara itu langsung diikuti dengan gerakan refleks oleh anggota barisan. Tidak jauh dari mereka berdiri, Allu tetap asyik dengan kebiasaannya tiap hari di kantor itu yakni memungut kantong bekas, kemasan air dan aneka sampah yang tiap hari ada saja berserakan di sekitar kantor. Teriakan ‘siap grak’ yang diucapkan pemimpin barisan pegawai itu tidak mengalihkan perhatiannya bahkan untuk sekedar berpaling. Allu tetap konsentrasi pada dedaunan yang berserakan di sekitar halaman kantor.
Tidak hanya di pelataran kantor pemerintahan saja, di ruangan-ruangan Allu juga selalu terlihat. Dia terkadang duduk dideretan kursi peserta rapat. Saat rapat berlangsung Allu hanya duduk terdiam menyaksikan jalannya rapat. Namun setelah itu, setelah ruangan sepi ditinggalkan oleh peserta rapat, barulah Allu melakukan aksinya. Bungkusan kue yang tertinggal di meja-meja atau yang tercecer di ruangan disapu bersih oleh Allu. Tong sampah plastik yang telah disiapkan dari awal langsung diisi penuh dengan sampah-sampah plastik bekas kemasan air, dan bungkusan kue.


Tanpa beban, meski diusianya yang sudah separuh baya, sampah-sampah itu diangkut ke salah satu sudut halaman kantor pemerintahan sebagai tempat terakhir untuk selanjutnya diangkut oleh petugas sampah di daerah itu.
Perjuangan hidup seperti itulah yang tiap hari di lalui Allu, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari. Hidup membujang diusianya yang memasuki senja, mengurangi beban hidupnya, paling tidak mengurangi cita-cita kemewahan hidup bagi dirinya.
Sekilas tidak ada beban hidup yang terlihat dari raut mukanya. Tiap hari dia selalu terlihat ceria, bahkan terkadang Allu menyempatkan diri bercanda dengan gaya khasnya dengan para staf di kantor pemerintahan itu.
Allu mungkin tidak diperhitungkan sebagai staf di kantor itu, sebab dia datang tanpa harus mengisi absen seperti pegawai kebanyakan, tidak perlu berkostum rapi. Tapi apa yang dilakukan oleh Allu memberikan manfaat besar bagi kondisi lingkungan perkantoran pemerintahan itu.
Bisa dibayangkan, tanpa Allu seperti apa ruangan yang hampir tiap hari dipenuhi bekas bungkusan kue? Yah Allu adalah pejuang yang mungkin saja tidak disadari perjuangannya di kantor itu. Disaat para aparatur pemerintahan sibuk dengan tugas mereka, Allu juga sibuk dengan tugasnya yang tentu secara sekilas sepele tapi dampaknya sangat berarti jika tidak diurusi.
“He.. saya selalu paling cepat masuk kantor,”katanya pada suatu hari dihadapan para pegawai disebuah ruangan di kantor pemerintahan itu.
Tidak ada beban bagi dia untuk mengungkapkan itu, juga terlihat tidak ada tujuan tertentu bagi Allu mengungkapkan kata-kata itu. Dan para pegawai yang mendengarkan juga acuh dengan apa yang baru saja diungkapkan Allu.


Bukankah Allu tidak harus mengisi absen ketika masuk kantor? Jika dia terlambat konsekwensinya juga tentu tidak ada. Aturan yang berlaku di kantor itu termasuk datang tepat waktu ke kantor, tidak berlaku bagi Allu.
Tapi apa maksud ungkapan itu? Berpikir sejenak, ungkapan Allu meski bukan itu tujuan dia untuk mengatakan itu nampaknya berbau sindiran. Ungkapan itu seolah ingin mengatakan pada semua staf kantor, bahwa tiap hari dia masuk kantor lebih awal dari para pegawai yang gajinya jauh lebih besar dari gaji Allu. Ungkapan itu juga seolah ingin mengungkapkan bahwa disiplin itu tidak harus diikat dengan absen. Dia seolah ingin bilang , lihat saya yang tidak diatur oleh absen tetap bisa datang jauh lebih awal dari kalian yang memiliki ,ketergantungan’ dengan absen. Dia juga seolah ingin bilang saya tidak kerja kerana absen tapi saya kerja karena tanggung jawab dan amanah.
Ada falsafah hidup yang coba diungkapkan oleh Allu yang dipandang sebelah mata di kantor itu. Ada contoh yang ia tunjukkan. Ada kandungan makna yang menarik untuk dianalisa pada setiap perkataan dari ‘kebodohannya’. Sebuah ungkapan kebodohan yang ia lontarkan bisa mebuat kita bertambah pintar, atau sebaliknya tambah bodoh dan lebih bodoh dari dia.
Allu memang sang pejuang yang terlupakan. Tidak saja terlupakan dari perannya yang begitu besar dalam mengemban tugas kebersihan dikantor itu, tapi juga terlupakan dari pola disiplin yang ia terapkan. Bisakah sang pejuang seperti Allu diperhitungkan dan kembali dilirik dikantor itu? Jawabannya ketika pola disiplin sudah bisa diterapkan paling tidak menyamai kedisiplinan Allu maka saat itu Allu tidak lagi dilupakan, artinya Allu tidak lagi sebatas pejuang kebersihan tetapi juga pejuang kedisiplinan. Tapi mungkinkan itu jadi cerminan hidup paling tidak dikantor tempat Allu melewati hidupnya tiap hari. Pola hidup Allu memberikan pilihan bagi staf dikantor itu, ingin memiliki nilai lebih dari Allu atau sebaliknya harus merelakan Allu unggul dan hidup lebih bobrok dari Allu???

Tidak ada komentar: