Senin, 09 Mei 2011

Sepotong Mentimun

Karya : Hamsah

Sepotong mentimun langsung merebak disela-sela nasi, di atasnya tampak tumpukan sambal goreng. Ku ambil sendok plastik yang ada di sudut lain dos nasi itu untuk membersihkan tumpukan sambal yang ada di atas mentimun. Takut sesekali panitia memerintahkan untuk menghabisi mentimun terlebih dahulu sebelum makan nasi dan lauk yang ada seperti yang kerap diperintahkan kepada kami.

Ku coba menoleh ke arah teman lain yang juga sementara asyik membuka dos nasi mereka. Yang aku pandangi balik menatap ke arah saya. Yang lain juga saling menatap sambil tersenyum. Entah apa maksud tatapan itu. Yang jelas setiap makan siang aksi saling tatap terus berlangsung seperti keberadaan sepotong mentimun yang tidak pernah alpa berada di antara tumpukan nasi kami.


“Habiskan mentimun dulu sebelum makan nasinya,”lontar salah seorang panitia. Para peserta Prajabatan mendengar perintah itu tidak langsung mengikuti intruksi, sebaliknya mereka justru kembali saling pandang dan melempar senyum. Setelah itu sepotong mentimun itu berpindah ke mulut mereka.
Namun siapa sangka tidak semua peserta menyukai mentimun. Ada juga yang diantara peserta yang betul-betul tidak menyukai mentimun. Devi, seorang gadis cantik dari salah satu dinas di daerah itu mengaku sangat alergi dengan mentimun. Maka ketika makan siangnya di pandu oleh panitia, rasa was-was terus menghantuinya. Takut di hukum tentu saja menjadi alasannya.
Beruntung Devi berparas cantik. Banyak lelaki dari peserta Prajabatan itu yang menyimpan hati untuk Devi. Tidak heran jika saat jam makan siang tiba, banyak lelaki yang mendekat ke Devi. Mereka bermaksud menolong Devi dengan jalan mengambil sepotong mentimun milik Devi.
Hany, seorang pria yang menjadi fans berat Devi. Pada setiap kesempatan Hany terus berupaya menarik simpati Devi. Sejak awal, Hany memang berharap menemukan tambatan hatinya di prajabatan ini. Sehingga saat melihat Devi, ia terobsesi untuk bisa mengenal bahkan bisa berteman dekat dengan Devi atau istilah remajanya pacaran.
Namun ternyata bukan Cuma Hany saja yang mengagumi Devi, pria lain bernama Musa ternyata diam-diam juga menaruh perhatian dengan Devi. Musa juga sudah tahu jika Hany menyukai Devi, sebab pada setiap berlangsungnya materi, Hany dan Musa terus duduk berdekatan di bangku terakhir. Mudah saja Musa untuk mengawasi gerak Hany bahkan sesekali Hany malah berceritera kepada Musa soal perasaan hatinya.


Melihat Devi tidak menyukai mentimun, Musa dan Hany seolah mendapatkan pintu masuk.”nah kalau begini, jika ingin mendapatkan hati Devi kayaknya saya harus berburu mentimun,”pikir Hany. Musa juga memiliki pikiran sama dengan Hany.
Sebenarnya Hany juga tidak terlalu menyukai mentimun, namun karena terlanjur menganggap berburu hati Devi berarti juga harus berburu mentimun, Hany terus berupaya menjadi dewa penolong bagi Devi pada setiap makan siang tiba.
Jam menunjukkan pukul 12.00 waktu setempat, artinya waktu makan seperti bisanya tiba. Seperti biasanya Hany langsung duduk dekat Devi. Ia menunggu overran mentimun dari dos nasi Devi.”Jangankan mentimun, makan bersama di satu piring aja saya mau,”pikir Hany yang langsung melahap mentimun pemberian Devi. Hany begitu menikmati mentimun itu.
“Ini bukan mentimun biasa, ini mentimun cinta,”pikir Hany lagi, seolah yang dimakannya bukan sepotong mentimun. Di sudut lain Musa terlihat kecewa sebab tidak sempat mendapatkan mentimun milik Devi. Musa kesal akibat kalah cepat dengan Hany mengambil mentimun itu.
Kepada Devi, Hany mengaku sangat suka makan mentimun, meski itu hanya alasan belaka biar Devi bisa lebih dekat dengan dia. Namun berkat mentimun itu, Hany terlihat lebih akrab dengan Devi. Bukan hanya ketika akan makan siang saja Hany terlihat terlibat perbincangan dengan Devi, bahkan pada saat jam istirahat Hany juga dapat kesempatan berbincang dengan Devi.


Musa yang terkenal paling iseng di ruangan itu nampaknya tidak ikhlas melihat kedekatan Devi dengan Hany. Dengan sikap isengnya tidak jarang Musa mengganggu dan mencuri kesempatan dengan Devi, baik pada saat berfoto bersama dan lainnya. Namun tetap saja Hany tidak mau kalah.
Hany kerap berupaya menyenangkan Devy. Melucu atau pura-pura minta bantuan jadi trik ampuh bagi Hany untuk bisa terus dekat dengan Devy. Jurus yang dilakukan Hany nampaknya ampuh juga. Terbukti hampir tiap hari Hany dan Devy kerap duduk bersama bahkan saat jam istirahat jalan bersama sambil ngobrol.
Namun kedekatan itu, belum sempurna sebab Hany sendiri hanya memendam perasaan hatinya. Hany kehilangan nyali untuk menyampaikan luapan perasaannya ke Devy. Akibatnya keakrabatan yang dibina hanya keakraban semata sebagai teman.
Hingga pada suatu hari, waktu itu masa prajabatan tersisa seminggu lagi, seorang laki-laki berpenampilan menarik mengunjungi lokasi Prajabatan. Laki-laki itu datang mencari Devy. Devy yang mengetahui kedatangan laki-laki itu langsung menghampirinya. Mereka kemudian terlibat perbincangan serius, Devy terlihat manja dengan lelaki tadi.
Dari cara bicara dan sikap Devy terhadap lelaki tadi sangat jelas bahwa lelaki yang datang itu memiliki hubungan serius dengan Devy. Hany yang mencuri pandang dari jauh merasa trenyuh dengan keakraban mereka. Entah karena apa, tiba-tiba ada perasaan yang aneh dalam diri Hany. Sebuah rasa yang membuat tulang-tulang Hany lemas tak bertenaga. Tidak tahan berlama-lama mencuri pandang keakraban Devy dan lelaki tadi, Hany kemudian menenangkan diri di Mushallah dekat aula tempat berlangsungnya Prajabatan.
“Huffff…. Mentimun yang saya nikmati memang masih sepotong kapan sepurnanya yah,”gumam Hany dalam hati sambil membaringkan badannya di dalam Mushallah.
Rasa penasaran Hany terhadap lelaki yang datang tadi dan terlihat akrab dengan Devy ternyata membuat Hany penasaran. Namun Hany sendiri tidak berani untuk menanyakan langsung ke Devy tentang laki-laki tadi. Ia takut dianggap lancang atau dianggap tidak tahu diri.
“Musa,.. yah Musa…,”Hany teringat Musa temannya yang paling iseng.
Hany berencana memanfaatkan sikap iseng Musa untuk menanyakan siapa lelaki tadi yang datang menemui Devi.
“Musa, kamu tahu gak siapa lelaki tadi yang datang menemui Devy,”Tanya Hany saat bertemu Musa. Hany sendiri sempat berkeliling lokasi Prajabatan untuk mencari keberadaan Musa. Ternyata Musa sedang kumpul dengan teman-teman prajabatan lainnya sambil melucu.
“Tidak, kenapa?,”sahut Musa.
“tolong yah kamu cari tahu siapa lelaki tadi,”harap Hany.
“Kenapa bukan kamu saja yang nanya langsung ke Devy,”ledek Musa yang sudah tahu selama ini Hany memendam perasaan sama Devy.
“Tolonglah teman mu ini, kamu kan tahu saya kurang berani untuk masalah seperti ini, please cari tahu yah….,”kata Hany memelas.
“Hmmm….,”Musa menggumam sambil mengangguk tanda setuju.
Belum lama mereka berbincang tiba-tiba Devy berlalu di depan mereka. Spontan sikap iseng Musa muncul.
“Cieee…..tawwa,”ledek Musa.
“Cieee apa?,”sahut Devy yang merasa diledeki oleh Musa. Devy pun mendekat ke Musa yang saat itu lagi bersama Hany.
“Lagi berbunga-bunga ni yeee..dapat kunjungan, yang itu yah???,”ledek Musa lagi dengan nada isengnya.
“Huh sembarangan…biasa lagi,”sahut Devy menangkis guyonan Musa.
“Yang itumikah calon bapaknya kenapa tidak dikenalkan sama kita-kita,”lanjut Musa masih penuh guyonan dalam dialeg setempat.
“Mang kenapa? Gagah toh,”balas Devy juga dengan guyonan.
“seriuska ini, yang itumikah? Klo iya kita mau mengundurkan ini,”lagi-lagi Musa terus memainkan ciri khas isengnya.
“Tidak apa-apa maju saja kalau mau jadi yang ke lima,”ujar Devy tidak mau kalah.
Jawaban Devy ini meski tidak serius tapi sudah menjawab tanda Tanya di hati Hany yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perbincangan antara Musa dan Devy.


Sejak mengetahui Devy sudah memiliki pacar, Hany mulai tidak segencar dulu mendekati Devy. Meski tiap saat ia tetap berupaya dekat dengan Devy. Itu dilakukannya agar Devy tidak menaruh curiga terhadapnya.
Trenyuh. Perasaan itu yang menghantui Hany sejak mengetahui Devy sudah memiliki pacar. Ada harapan yang hilang dari diri Hany yang sejak awal mengikuti prajabatan menggantungkan harapan bisa menemukan tambatan hatinya di pajabatan itu.
“Kenapa juga baru sekarang ketahuan, kenapa bukan dari awal supaya bisa cari yang lain,”sesal Hany dalam hati.
Hingga prajabatan berakhir, Hany tetap seperti awal dia mengikuti Prajabatan. Belum ada perempuan yang berhasil menggait hatinya. Belum ada kata cinta yang terlontar dari mulutnya untuk seorang perempuan. Ucapan yang hampir saja disampaikannya pada Devy yang ternyata lebih dahulu menemukan tambatan hati meski bukan sesama peserta prajabatan.
Tidak terasa waktu hampir sebulan kegiata prajabatan berlangsung. Hingga memasuki malam ramah tamah, para peserta prajabatan khususnya dari golongan III yang hadir malam itu bergembira ria. Kecuali Hany yang memilih duduk di sudut paling belakang gedung. Matanya tidak berhenti memperhatikan orang-orang yang ada di depannya. Seolah ada yang ia cari. Devy. Nama itu ada dalam hatinya, namun disudut lain ia berharap ada Devy lain yang ia temukan malam itu. Namun hingga acara selesai tidak seorang pun yang diajak bicara oleh Hany kecuali teman-teman satu ruangannya yang sempat menyapanya dan dijawab seadanya oleh Hany.
Masa penutupan pun tiba. Hany memilih berdiri duduk di samping kanan deretan peserta. Matanya tetap jalang mengawasi peserta lain. Di matanya masih tersimpan harapan, ada Devy lain yang nyangkut di matanya. Namun hingga acara penutupan, harapan itu tetap belum terjawab.
Usai penutupan Hany pamit lebih awal kembali ke tempatnya mengajar. Hany merupakan salah satu guru yang mengajar di sebuah pedesaan di Kota itu. Hany langsung kembali ke kosnya. Setiba di kos Hany langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur. Mata dan pikirannya mengawang-awang. Ia sempat terlelap dalam tidur hingga sore hari.
Jam menunjukkan pukul 16.00 sore waktu setempat. Hany menghibur dirinya dengan berjalan mengelilingi perkampungan. Sejak ia mengajar di desa tersebut, ini yang pertama kali ia berjalan mengelilingi kampung. Biasanya Hany lewat mengendarai motor, itupun ketika ada kepentingan tertentu. Namun kali ini ia hanya berjalan tanpa tujuan.
Tiba di sebuah persimpangan jalan, tepatnya didepan sebuah rumah panggung besar. Hany berhenti sejenak. Matanya tiba-tiba tertuju pada buah mentimun yang bergelantungan di halaman rumah panggung besar tersebut. Entah apa yang Ia pikirkan.
“Mentimun. Kapan saya dapat dengan utuh?selama ini saya hanya dapat sepotong. Sepotong seperti serpihan hati yang juga masih sepotong belum juga cukup satu,”pikir Hany sambil terus memperhatikan buah mentimun tadi.
Cukup lama Hany memperhatikan buah mentimun tersebut, hingga ia baru tersadar ketika ada suara yang menyapanya dari dalam halaman rumah itu.
“Ada yang bisa saya bantu pak,”ucap sebuah suara yang ternyata pemiliknya adalah seorang gadis remaja. Jika ditaksir usianya sekitar 15-16 tahun.
Hany terperanjat dari lamunannya mendengar suara itu. Ia pun langsung tergugup.”ee..ee.. tidak Cuma lihat-lihat,”jawabnya gugup.
“Mau mentimun pak. Sini masuk pak, petik saja kebetulan buahnya banyak,”lanjut remaja tadi.
“Tidak saya Cuma terkenang dengan buah mentimun ini,”sahut Hany.
“Maksudnya pak,”
“Ia, kondisi saya saat ini seperti mentimun itu,”
Remaja tadi makin penasaran.”saya tidak mengerti pak, bisa dijelaskan,”harap remaja tadi penasaran.
“Cerita nya begini,”lanjut Hany.
“Masuk dulu disini pak sambil cerita,”ajak gadis tadi dengan ramah.
Kali ini Hany tidak bisa mengelak. Ia pun mengikuti ajakan gadis tadi dan masuk ke halaman rumahnya. Diam-diam hany memperhatikan wajah gadis tadi.”gadis ini cantik juga,”pikir Hany.
“Begini dek,”Hany melanjutkan ceritanya soal mentimun tadi.
“Saya baru saja selesai prajabatan. Di prajabatan saya selalu dapat mentimun sepotong. Saat itu saya berpikir bahwa hati saya juga seperti mentimun itu. Masih sepotong dan butuh disempurnakan jadi mentimun yang utuh. Makanya diprajabatan saya berniat menyempurnakannya utuh seperti mentimun, tapi tidak berhasil,”jelas Hany.
“Ohh gitu yah….saya mulai mengerti,”sahut gadis tadi.
“Mudah-mudahan saya cepat dapat menyemprunakan hati saya hingga bisa utuh seperti mentimun tadi, eh boleh kenalan,”Hany mengulurkan tangannya sambil menatap gadis tadi.
“Saya Hany, kamu?,”
“Saya Yovi,”sahut gadis tadi yang ternyata bernama Yovi malu-malu.
Cukup lama Hany terlibat perbincangan dengan Yovi. Hany bercerita pengalaman saat mahasiswa hingga ia mengajar di kampung itu. Yovi mengikuti cerita Hany dengan serius. Perkenalan mereka itu tiba-tiba langsung akrab hari itu. Bahkan saat bercerita dengan Yovi, Ibu Yovi juga turut serta. Ibu Yovi bergabung dengan mereka sambil membawa segelas teh panas dan makanan ringan, membuat perbincangan mereka makin panjang. Karena cerita panjang lebar sambil tertawa, Hany tidak hanya akrab dengan Yovi tapi juga dengan ibu Yovi.
“Sudah hampir malam, saya pamit dulu dek, ibu,”tutur Hany yang baru menyadari bahwa hari hampir memasuki malam. Ia tidak merasa telah lama berada di tempat itu.
“Ia nak, jalan-jalan kesini jika ada waktu,”jawab ibu Yovi.
Sejak perkenalan itu, Hany sering-sering ke rumah Yovi. Yovi juga mulai menyukai Hany begitupun sebaliknya. Sementara ibu Yovi juga cukup senang pada setiap kehadiran Hany. Selain Hany memang sopan dalam bertutur, paling tidak dimata ibu Yovi Hany adalah lelaki mapan yang sudah punya kerjaan tetap, sehingga ia juga tidak khawatir jika anaknya sampai menyukai Hany.
Selain sopan, pada setiap berkunjung Hany tidak alpa membawa bungkusan untuk ibu Yovi dan kerap membeli rokok untuk bapak Yovi yang sangat doyang merokok. Bukan itu saja Hany juga tidak jarang turut membantu menggarap dan memelihara kebun mentimun di halaman rumah Yovi.
“Akhirnya hati saya sudah utuh seperti utuhnya mentimun ini, tidak lagi hanya sepotong seperti yang saya dapatkan di Prajabatan tiap hari,”ucap Hany dalam hati sambil megangi buah mentimun besar berwarna putih di depannya. (Tamat)

Tidak ada komentar: